FIQH NISA

Keputihan, Suci atau Najis?

Salah satu masalah yang sering ditanyakan para wanita adalah hukum keputihan, apakah suci atau najis? Seandainya suci apakah membatalkan wudhu atau tidak?

Pengertian Keputihan

Keputihan menurut KBBI adalah penyakit pada kelamin wanita yang ditandai dengan keluarnya lendir putih yang menyebabkan rasa gatal.

Menurut Wikipedia, keputihan pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu keputihan normal (fisiologis) dan keputihan abnormal (patologis). Keputihan fisiologis adalah keputihan yang biasanya terjadi setiap bulannya, biasanya muncul menjelang menstruasi atau sesudah menstruasi ataupun masa subur. Keputihan patologis dapat disebabkan oleh infeksi biasanya disertai dengan rasa gatal di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina bagian luar. Yang sering menimbulkan keputihan ini antara lain bakteri, virus, jamur atau juga parasit

Hukum Keputihan

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum keputihan:

Pendapat Pertama: Keputihan hukumnya najis. Ini pendapat Abu Yusuf dan Muhammad al-Hasan dari Hanafiyah, dan madzhab Malikiyah, dan asy-Syairazi pengarang kitab (al-Muhadzab dan at-Tanbih), al-Bandaniji dari madzhab Syafi’i, al-Qodhi Abu Ya’la, dari madzhab Hanbali, dan beberapa ulama lainnya.

Berkata an-Nawawi di dalam al-Majmu’ (2/570) :

رطوبة الفرج ماء أبيض متردد بين المذي والعرق , فلهذا اختلف فيها ثم إن المصنف رحمه الله رجح هنا وفي التنبيه النجاسة , ورجحه أيضا البندنيجي

“Rhutubatu al-Farji (Keputihan yang keluar dari kemaluan) bentuknya seperti cairan putih, diperselisihkan statusnya, apakah disamakan dengan madzi atau al-‘Irq (semacam keringat). Karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Kemudian, penulis (asy-Syairazi) dalam kitab ini (al-Muhadzab) dan kitab at-Tanbih, cenderung berpendapat bahwa keputihan hukumnya najis. Pendapat ini dipilih juga al-Bandaniji.“

Ad-Dimyati di dalam I’anatut Tholibin (1/86) membagi cairan yang keluar dari kemaluan menjadi tiga bagian: (1) apabila cairan tersebut keluar dari bagian yang wajib dicuci ketika beristinja’, yaitu bagian yang nampak ketika jongkok, maka hukumnya suci.(2) . apabila cairan tersebut keluar dari kemaluan bagian dalam, yaitu yang tidak terjangkau alat kelamin laki-laki ketika bersenggama, maka hukumnya najis. (3) apabila cairan tersebut keluar dari bagian yang tidak wajib dicuci ketika beristinja’, tetapi terjangkau alat kelamin laki-laki ketika bersenggama, maka hukumnya suci menurut pendapat yang lebih benar.

Kesimpulan dari dalil-dalil pendapat pertama adalah sebagai berikut:

Pertama: Hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata :

يا رسول الله إذا جامع الرجل المرأة فلم ينزل ؟ قال : يغسل ما مس المرأة منه ثم يتوضأ ويصلي

“Wahai Rasulullah, jika seorang laki-laki menggauli istrinya, tetapi tidak keluar air maninya ? Beliau bersabda : “Hendaknya dia mencuci apa yang mengenai kemaluan istrinya, kemudian berwudhu dan shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits di atas, walaupun kewajiban berwudhu sudah dihapus dengan kewajiban mandi bagi yang menggauli istri, tetapi perintah mencuci kemaluan setelah berhubungan hukumnya tetap dan belum dihapus. Hal ini menunjukkan bahwa keputihan hukumnya najis, karena dia berada di dalam kemaluan perempuan. (lihat al-Majmu’: 2/570)

Jawabannya, bahwa kemaluan wanita dibagi menjadi dua, tempat keluar air kencing, dan tempat keluar anak. Keputihan keluar dari tempat keluarnya anak, bukan dari tempat keluarnya air kencing, sehingga tidak bisa dihukumi najis, sebagaimana air mani.

Kedua: Keputihan hanya terjadi pada zaman sekarang, belum terjadi pada zaman dahulu, maka tidak terdapat riwayat yang menjelaskan tentang keputihan.

Jawabannya, bahwa tidak adanya riwayat yang menjelaskan tentang keputihan, justru menunjukkan kesuciannya, seandainya ia najis tentunya Rasulullah akan menjelaskannya walau hanya dalam satu hadits.

Ketiga: Mengqiyaskan keputihan dengan air madzi yang sama-sama keluar dari kemaluan, dan kedua-duanya bukan dari unsur terciptanya anak, maka kedua-duanya najis.

Pendapat Kedua: Keputihan hukumnya suci. Ini pendapat Ulama Hanafiyah, dan pendapat yang benar dari madzhab Syafi’i yang dikuatkan oleh al-Baghawi, ar-Rafi’i dan an-Nawawi, dan pendapat yang benar dari madzhab Hanbali yang dikuatkan oleh al-Mardawai dan Ibnu Qudamah.

Berkata an-Nawawi di dalam al-Majmu’ (2/570) :

وقال البغوي والرافعي وغيرهما : الأصح : الطهارة، وقال صاحب الحاوي في باب ما يوجب الغسل : نص الشافعي رحمه الله في بعض كتبه على طهارة رطوبة الفرج

“Sementara al-Baghawi dan ar-Rafi’i serta yang lainnya berpendapat bahwa menurut pendapat yang benar keputihan adalah suci.Penulis kitab al-Hawi di dalam bab : Hal-hal yang mewajibkan mandi junub, berkata, “Imam as-Syafi’i telah menegaskan dalam sebagian kitabnya bahwa keputihan wanita statusnya suci.”

Ibnu Qudamah berkata di dalam al-Mughni (2/65 ) :

وفي رطوبة فرج المرأة احتمالان : أحدهما , أنه نجس ; لأنه في الفرج لا يخلق منه الولد , أشبه المذي . والثاني : طهارته ; لأن عائشة كانت تفرك المني من ثوب رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو من جماع , فإنه ما احتلم نبي قط , وهو يلاقي رطوبة الفرج , ولأننا لو حكمنا بنجاسة فرج المرأة , لحكمنا بنجاسة منيها ; لأنه يخرج من فرجها , فيتنجس برطوبته . وقال القاضي : ما أصاب منه في حال الجماع فهو نجس ; لأنه لا يسلم من المذي , وهو نجس . ولا يصح التعليل , فإن الشهوة إذا اشتدت خرج المني دون المذي , كحال الاحتلام

“Dalam permasalahan Rhutubatu al-Farji (Keputihan yang keluar dari kemaluan) terdapat dua kemungkinan, yang pertama, keputihan hukumnya najis karena berada di kemaluan yang bukan unsur terciptanya seorang anak, seperti madzi. Yang kedua, keputihan hukumnya suci, karena Aisyah pernah mengerik air mani dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bekas hubungan suami istri, karena tidak ada seorang nabi pun yang mengalami mimpi basah. Sehingga disimpulkan bahwa air mani tersebut bercampur Rhutubatu al-Farji (keputihan yang keluar dari kemaluan). Jika kita menghukumi keputihan sebagai cairan najis, seharusnya kita juga berpendapat najisnya air mani wanita, karena keluar dari kemaluannya, sehingga menjadi najis ketika bercampur dengan keputihan yang ada di dalamnya. Adapun al-Qadhi Abu Ya’la berpendapat, apa-apa yang terkena cairan basah dari kemaluan ketika hubungan suami istri hukumnya najis, karena tidak lepas dari madzi, sedangkan madzi hukumnya najis. Pendapat seperti itu tidak benar. Karena syahwat ketika memuncak, akan keluar air mani tanpa disertai keluarnya air madzi, seperti ketika seseorang bermimpi basah.”

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button