Ketika Amien Rais Mengenal Dekat Tokoh-Tokoh Ikhwanul Muslimin (3)
Ketika saya hendak naik haji, saya dibisiki oleh teman saya almarhum Fauzi, “Mas Amien, di Mesir dan di Indonesia itu sama saja. Kalau nanti sepulang dari haji Anda membawa oleh-oleh sekadar sajadah dan tasbih untuk Sayid Ramadhan dia pasti sangat senang.” Memang betul, ketika saya pulang dari haji, saya bawakan oleh-oleh sajadah, tasbih, dan lain-lain. Hubungan saya dan beliau menjadi sangat akrab.”
Baca juga: Ibu Amien Rais yang Perkasa (2)
Ada yang menarik ketika Amien bertemu dengan Dr. Muhammad al-Bahi, seorang intelektual besar di Mesir. Beliau mengingatkan padanya dengan kata-kata yang sangat lugas, kira-kira artinya, “Kalau kamu ingin jadi aktivis Muslim, kembali ke tanah airmu ingin menjadi seorang yang memperjuangkan nilai-nilai agama Islam, maka paling tidak kamu harus bisa, mampu, dan mau membaca al-Qur’an sehari satu juz. Kalau kurang dari itu, lebih baik kamu tidak usah berpretensi atau pura-pura menjadi mujahid Islam.”
Amien mengaku beda antara Chicago dan Kairo. “Saya kira hal-hal itu sangat mengesan di hati saya, dan saya merasakan betapa bedanya suasana Chicago dan Kairo. Setelah tiga tahun lebih di Chicago, saya dan istri saya tetap merasa jadi orang asing. Betul-betul tidak pernah merasa at home. Tapi begitu sampai di Kairo, baru satu minggu betul-betul Mesir itu seperti negeri nomor dua; seperti second country. Mungkin karena azan selalu didengungkan, juga karena suasana ketimuran yang mirip dengan Indonesia, keramahtamahan orang Mesir juga tidak ada bedanya dengan orang Indonesia, sehingga cepat sekali kami beradaptasi di Kairo itu.”
Setelah pulang dari Kairo menuju Chicago Amien mendapat dua anugerah. Anugerah kecil itu berbentuk draft disertasi. Sedangkan anugerah besar adalah kelahiran anaknya yang pertama, Ahmad Hanafi, di Chicago, setelah ia dan istrinya menunggu selama sepuluh tahun. Nama anaknya itu ia ambil dari dosen di Yogyakarta yang ia kagumi. “Kami terbang kembali ke Chicago dengan kebahagiaan yang tidak terperikan. Waktu itu Hanafi di kandungan ibunya sudah delapan bulan, satu bulan kemudian Hanafi lahir. Buat saya, seperti kata al-Qur’an, orang beriman hendaknya menjelajah bumi Allah ini sambil mencari hikmah di belakang perjalanan yang panjang itu. Maka, saya dan istri saya merasa mendapatkan hikmah yang panjang waktu ada di Chicago, waktu ada di Kairo, waktu naik haji bersama, waktu mampir di Paris, di Inggris, di Belanda dan lain sebagainya,”kata Amien.
Teman-teman Kairo yang semasa dengan Amien, yang hingga sekarang tetap berhubungan dengan baik dengannya adalah Abdul Khoir Rasyidi, Ustadz Nursasi, dan Ustadz Nur Dedi, yang baru meninggal dunia tiga bulan yang lalu. Kemudian juga Ustadz Abdus Salam, seorang ulama terkemuka di wilayah Jakarta Selatan.
“Mereka tetap berhubungan sangat baik dengan saya, sekalipun sesungguhnya dari pandangan keagamaan mereka lebih dekat ke NU. Sementara saya jelas tokoh Muhammadiyah. Tapi kita saling menghargai, kita saling menyayangi dan tetap membangun silaturahmi,” kata Amien.
Nuim Hidayat, Dosen Akademi Dakwah Indonesia, Depok.