NUIM HIDAYAT

Ketika Para Kiai Disembelih (1)

Sabtu besok, 18 September, adalah peringatan 73 tahun berdirinya Republik Soviet Indonesia di Madiun. Republik komunis ini didirikan tokoh PKI, Muso. Pendirian negara komunis ini diikuti dengan pembantaian Kiai, santri dan pejabat yang menentang komunis.

Peristiwa 1948 itu tentu perlu kita kenang, agar tragedi yang memilukan itu tidak terulang. PKI memang telah mati dan dilarang di Indonesia. Tapi kader atau pengikutnya masih banyak.

Beberapa bulan lalu, heboh di Tanah Air tentang Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud yang terbukti pro komunis (PKI). Hilmar mengaku ia anti Orde Baru dan pro PKI.

Baca juga: Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan yang Pro Komunis

Kini banyak pejabat yang terkagum-kagum dengan China yang kini tumbuh menjadi negara adidaya baru. Luhut Panjaitan dan Prabowo Subianto diantaranya. Ketua Umum PDIP Megawati dengan terbuka menyatakan simpati dan ulang tahun kepada Partai Komunis China, Juli 2021 lalu. Seperti diketahui PDIP beberapa kali mengirim kadernya untuk belajar pada pemerintah China (PKC). Bukan hanya PDIP, Polri juga pernah mengirim 60 perwira polisinya untuk belajar ke China.

Simpati dan kekaguman kepada China ini sebenarnya menyesakkan dada. China memang berhasil dalam pertumbuhan ekonominya. Tapi ideologi dan budaya komunismenya mengkhawatirkan.

Agar kita mengetahui kerakusan kekuasaan dan kekejaman kaum komunis di tanah air, kita perlu mengenang sejarah. Sejarah adalah pelajaran bagi kita agar peristiwa yang sama tidak terulang di masa depan.

Ada peristiwa menarik di tahun 2017. Pada 16-17 September 2017 di Gedung LBH Jakarta, akan dilakukan seminar kembali tentang PKI. Dalam acara ini akan dilakukan diskusi-diskusi berkenaan: Latar belakang permasalahan 65 (kontroversi 1948, kontroversi sebelum 1965), G30S/Gestok (kudeta dan tuduhan PKI makar, kudeta merangkak Suharto, berujung pada Supersemar) dan Sesudah 65 (kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida). Selain itu juga kelompok yang pro PKI ini akan mencari terobosan penyelesaian dan KKR (Rehabilitasi, Rekonsiliasi, Reparasi dan lain-lain) serta Resolusi.

Acara yang beredar luas di media sosial itu, akan dilakukan Pidato Pembukaan oleh Sidarto Danusubroto, Anggota Wantimpres. Dalam proposal latar belakangnya, mereka menyatakan bahwa masih belum jelasnya duduk perkara mengenai peristiwa 1948, yang disebut sebagai “pemberontakan PKI”, merupakan dalih bagi pihak tertentu untuk melakukan balas dendam pada masa 1965/66. Ketidakjelasan ini merugikan sejarah bangsa dan pihak-pihak yang dituduh melakukan pemberontakan, padahal masalah ini telah selesai secara hukum. Untuk meluruskannya, perlu pembahasan lebih rasional dan mengedepankan kejujuran ilmiah.

Sebagai narasumber disebutkan antara lain: Dr. Baskara T. Wardaya sejarahwan Universitas Sanata Dharma, Mulyadi ketua Pakorba, Yunantyo Adi aktivis yang mendalami peristiwa 1948, dan Martin Hutagalung peneliti peristiwa 1948.

Mereka juga akan mendiskusikan tentang kontroversi sebelum tahun 1965. Menurut panitia, banyaknya tuduhan mengenai konflik agraria sebelum tragedi 1965/66, seperti kasus Bandar Betsy, peristiwa Kanigoro dan lain-lain, dianggap sebagian pihak menjadi sebab memuncaknya kekerasan dan pembantaian massal 1965/66. Demikian pula konflik ideologis. Sementara perdebatan Konstituante, siapa yang membela Pancasila dan siapa yang menginginkan Negara Islam?

“Sejarah perlu menjernihkan masalah-masalah ini, agar ada pertanggungjawaban ilmiah kesejarahan atas penegakan Pancasila serta sebab-sebab langsung tragedi 1965/66 tersebut,” terang panitia.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button