NUIM HIDAYAT

Ketika Para Kiai Disembelih (1)

Kekejian yang dilakukan PKI terhadap Kiai Dimyathi (Mbah Ngompak) lebih mengerikan lagi. “Ketika tengah melakukan shalat malam, Mbah Ngompak diseret ke luar masjid, kemudian diikat, dan akhirnya diseret dengan menggunakan kuda hingga sejauh 10 km mencapai Kota Kawedanan Walikukun, Ngawi. Kabarnya ketika itu, Mbah Ngompak belum juga wafat. Penyeretan kemudian kembali dilakukan ke arah Ngrambe. Namun setelah berjalan sejauh 4 km, orang-orang PKI itu berhenti di sebuah jembatan di kawasan Wot Galeh. Dari atas jembatan ini, tubuh Mbah Ngompak dilempar ke sungai yang curam. Jasad beliau ditemukan sudah dalam kondisi yang sangat mengenaskan,” tutur Kiai Damami, salah seorang cucunya yang kini tinggal di Pesantren Tanjungsari, Jogorogo, Ngawi.

Dalam aksinya September 1948 di daerah Madiun dan sekitarnya itu, memang ulah yang dilakukan PKI mengerikan. Selain pengakuan para saksi yang kini umurnya sudah 65 tahun-an ke atas, foto-foto dan monumen-monumen serta berita-berita di surat kabar waktu itu menunjukkan fakta-fakta otentik kekejian PKI ini. Pemimpin Redaksi Harian Abadi, Soemarso Soemarsono saat itu membuat catatan bahwa setelah rakyat dan TNI mengusir PKI dari Madiun, Magetan dan sekitarnya, ditemukan sebuah dokumen PKI yang menyatakan:

  1. Supaya para pengikut PKI Muso terus menjalankan sabotase
  2. Melakukan penculikan-penculikan
  3. Membunuh orang-orang yang merintangi maksud mereka
  4. Mengadakan pembakaran-pembakaran dan penculikan-penculikan
  5. Melakukan aksi militer

Soemarso juga menuliskan bahwa menurut berita yang dilansir Harian Nasional terbitan 15 Oktober 1948, Dr Abu Hanifah (pimpinan Masyumi) menerangkan bahwa kerugian-kerugian dari tindakan Amir (Syarifudin) dan Muso yang diderita oleh anggota-anggota Masyumi belum dapat ditaksir. Hanya kalau untuk membangun kembali maka kira-kira akan dibutuhkan waktu lima tahun.

“Menurut laporan yang sah, para pemimpin Masyumi yang telah mati terbunuh di Madiun ada 22 orang, di Magetan 13 orang, Ngawi 12 orang dan di Ponorogo 22 orang. Sedangkan di Cepu ada 140 orang anggota Masyumi dimasukkan dalam kereta api dan tidak diberi makan selama tiga hari. Sekarang mereka dalam keadaan yang sangat menyedihkan,” tulis Pemred Abadi, harian milik Masyumi ini.

Dalam buku Benturan NU PKI 1948-1965, Abdul Mun’im DZ menceritakan, pada 1962 gerombolan Pemuda Rakyat didukung kawanan Gerwani yang garang menyerbu Masjid Sunan Ampel Surabaya. Tempat suci itu dinjak-injak sambil menyanyi dan menari-nari menyanyikan lagu Genjer-Genjer. Bahkan mereka bermaksud mengubah masjid tersebut menjadi markas Gerwani. Ulah PKI ini menjadi kalangan NU dan umat Islam Surabaya marah. Mereka melakukan perlawanan dan karena kader PKI kalah jumlah, akhirnya mereka dapat diringkus dan dibawa ke pengadilan.

Peristiwa tragis juga terjadi pada mubaligh kondang KH Djufri Marzuqi di Pamekasan Madura, 27 Juli 1965. Kiai kharismatik itu ketika hendak memberikan ceramah dan pengajian umum ditikam oleh anggota PKI saat dalam perjalanan menuju tempat pengajian. Pembunuhan itu menyebabkan kemarahan masyarakat Islam Madura dan Jawa Timur umumnya. Bahkan dalam peringatan 40 hari wafatnya, KH Idham Cholid datang dari Jakarta untuk memberikan rasa simpati dan memberikan gelar pada tokoh ini Syahidul Kabir (syuhada agung). Bersambung. []

Nuim Hidayat, Anggota DDII, MIUMI, dan MUI Depok.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button