KH Hasyim Asy’ari: Kiai yang Menggerakkan Revolusi (1)
Muhammad Hasyim lahir di desa Gedang, Jombang, 14 Februari 1871. Ayahnya bernama KH M Asy’ari bin Kiai Abdul Wahid bin Kiai Abdul Halim bin Raden Benowo bin Jaka Tingkir (Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya) bin Ki Ageng Pengging (Boyolali) bin Maulana Abdul Fatih bin Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Ishak bin Maulana Malik Ibrahim (Gresik).
Ibunya bernama Halimah, putri Kiai Usman, pemilik Pondok Pesantren Gedang. Hasyim adalah putra ketiga dari sebelas bersaudara.
Tanda-tanda kebesaran Hasyim terlihat sejak dalam masa kandungan ibunya. Konon kabarnya, di awal kandungannya, ibunya bermimpi melihat bulan purnama jatuh dari langit dan tepat menimpa perutnya. Tanda-tanda keajaiban lainnya adalah lama mengandung sang ibu, yaitu 14 bulan. Dalam pandangan masyarakat Jawa, kehamilan yang sangat panjang, menandakan kehebatan sang bayi di masa depan. Di masa mengandungnya, ibunya sering melakukan puasa, shalat malam dan berzikir pada Allah SWT.
Sejak masih bayi, Hasyim tinggal di Pesantren Gedang milik kakeknya dari pihak ibu, yaitu Kiai Usman. Sedangkan ayahnya, Muhammad Asyari diserahi menjadi lurah pondok di sana. Maka sejak bayi, Hasyim sudah terbiasa mendengar alunan suara merdu Al-Qur’an dari ibu, ayah maupun para santri asuhan ayahnya.
Hasyim kecil juga sering duduk di pangkuan ayahnya yang sedang mengajar para santri. Begitu pula ketika ayahnya shalat, ia sering mengikuti gerakannya, meski ia belum mengerti makna shalat.
Ketika kecil, Hasyim juga sudah menunjukkan bakat kepemimpinannya. Ia suka memperingatkan teman-temannya kalau berbuat curang dalam permainan. Ia juga suka memberikan kepada teman-temannya barang-barang miliknya. Baik itu barang permainan, pakaian yang masih bagus dan lain-lain.
Sejak kecil ia mendapat pendidikan Islam yang bagus dari ayah dan kakeknya. Ia adalah anak yang sangat cerdas, yang cepat menyerap dan menghafal ilmu yang diberikan. Karena itu ia ingin menambah ilmu, dari tempat yang lain.
Mulailah Hasyim belajar mencari ilmu di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), dan Pesantren Kademangan di Bangkalan (Madura). Di pesantren-pesantren itu, Hasyim dikenal sebagai santri yang cerdas, pemberani dan hormat pada guru-gurunya.
Hingga suatu kali ada kejadian yang menggemparkan. Yaitu suatu hari, cincin dari Nyai Kholil –istri Kiai Kholil Kademangan- jatuh di tempat kotoran manusia yang menjijikkan. Tidak seorang santripun berani untuk mengambilnya, karena jijik, kotor dan najis. Hanya Hasyim yang berani turun untuk mencarinya. Kawan-kawannya memperingatkan dan mencemoohnya tapi Hasyim tidak peduli. Setelah lama-lama mengobok-obok tempat itu, akhinya Hasyim menemukannya. Cincin itu dibersihkannya dan kemudian diserakannya kepada Nyai Kholil.
Setelah melanglang buana ke beberapa pesantren, Hasyim akhirnya kembali ke Pesantren Gedang. Tapi tidak lama mengajar di tempat ayahnya itu, ia kembali ingin mencari ilmu di tempat yang jauh. Kali ini kakeknya menunjukkannya ke Demak, Pondok Pesantren Darat milik KH Saleh Darat.
Di tempat itulah, Hasyim yang saat itu umurnya baru 14 tahun berlabuh. Ia bersama Muhammad Darwis menjadi murid kesayangan KH Saleh Darat. Keduanya sama-sama tekun, cerdas dan hormat pada gurunya. KH Saleh Darat yakin bahwa keduanya kan pemimpin yang akan mewarnai negeri ini.
Setelah KH Saleh Darat wafat, Hasyim kembali ke Pesantren Gedang. Ia sering mengganti ayahnya mengajar para santri. Tapi lagi-lagi Hasyim merasa ilmunya belum cukup. Ia ingin mengembara lagi. Kali ini yang menjadi pilihannya adalah Pesantren Siwalan, Sidoarjo pimpinan KH Ya’kup.