Khalifah Umar bin Khaththab Menunjang Rakyatnya Saat Lockdown
Tunjangan berupa logistik dan uang memang potensi kuat penunjang hidup banyak penduduk Syam yang terkena wabah, atau daerah mereka statusnya darurat wabah tha’un. Penarikan jizyah awal mulanya hanya tanah ladang dan uang sebesar satu dinar untuk setiap orang Ahli Kitab, akan tetapi kemudian Umar bin Khaththab menetapkan 4 dinar kepada pemilik dinar, dan 40 dirham kepada pemilik dirham (Futuhul Buldan, Al-Baladzuri, h 158).
Umar bin Khaththab sendiri mengklasifikasi Ahlu Dzimmah dari yang kaya, menengah dan yang miskin. Bahkan penduduk Himsh yang meminta perdamaian dengan kaum Muslimin, membayar jaminan jizyah mereka sebanyak sebanyak 170.000 dinar, demikian riwayat Khalifah bin Khayyath dalam Tarikhnya (Hadits no.93) dan Al-Baladzuri dalam Futuhul Buldan (h. 158). Dinar-dirham mereka itulah yang statusnya jizyah, sedangkan tanah dan ladangnya menjadi kharaj.
Kharaj di bumi Syam
Kharaj atau pajak hasil bumi dari tanah orang-orang kafir di zaman Umar begitu berlimpah. Sebelum kita berbicara data-data, kharaj itu sendiri berasal dari tanah orang-orang kafir yang menjadi milik kaum Muslimin. Dasar pemberlakuan kharaj adalah tindakan Umar bin Khaththab yang memegang kekhalifahan, yang ditarik dari tanah-tanah futuhat. Maka Kharaj lebih bersifat seperti jizyah, namun berupa tanah. Demikian dijelaskan Sayyid Sabiq dalam Fiqih Sunnahnya (Juz 4, bab Ghanimah).
Maka kharaj dasar pengambilan hukumnya berasal dari ijma’ shahabat, yang mana ijtihad mereka dari ayat-ayat mengenai ghanimah dan fa’i. Dasar hukumya juga bisa Sunnah Fi’liyah (perbuatan) Rasulullah terhadap tanah Yahudi Khaibar, Fadak dan sekitarnya di masa beliau masih hidup.
Kharaj itu baru berhenti dan menjadi milik pribadi (si pengelola) jika mereka menjadi Muslim, namun saat wabah Tha’un Amwas, islamisasi secara pemikiran, keyakinan dan budaya untuk penduduknya belum terlalu masif dilakukan lantaran kaum Muslimin masih fokus pada futuhat. Oleh karena itu Umar bisa bebas membagi-bagikan hasil tanah kharaj kepada kaum Muslimin demi maslahat, terlebih tanah Syam yang penghasil Kharaj terbesar di saat itu, yang terkena wabah juga penduduk di tanah Syam dan sebagian kecil dari Iraq.
Maka sebenarnya kharaj ini harus dipahami betul sebagai penunjang generasi Muslim saat itu, termasuk yang hidup di wilayah wabah. Besar kemungkinan kaum Anshar dan keluarga mereka yang ahli dalam masalah berladang, dan juga penduduk asli Syam yang menjadi mualaf punya tugas untuk mengawasi ladang yang berstatus kharaj ini. Baik Yahudi dan Nasrani di Syam, selain membayar dinar-dirham, mereka diriwayatkan memberikan satu jarib (takaran) gandum, cuka, dan minyak zaitun untuk bahan-bahan pokok kaum Muslimin.
Selain memerintahkan agar memungut jizyah kepada setiap ahlu Dzimmah, pemerintah juga mencukupi kebutuhan kaum Muslimin dengan gandum dan minyak (Zaitun). Sarana tersebut ditunjang dari kharaj. Setiap ahlu Dzimmah yang memiliki ladang, pertanian dan harta, baik di Syam maupun Al-Jazirah (Wilayah Syam yang berbatasan dengan Irak/Persia) diwajibkan mengeluarkan dua mud gandum, menyuplai minyak dan juga madu sebesar satu wadah. Bahkan sanad dari kisah ini di Futuhul Buldan karya Al-Baladzuri berderajat shahih, lantaran sanadnya dari Imam Malik bin Anas, dari Nafi maula Ibnu Umar, dari Aslam pembantunya Umar bin Khaththab.
Tunjangan hasil sumber daya alam dari kharaj ini dari berbagai wilayah di Syam, seperti Himsh, Fihl, Al-Jabiyah, Damaskus, Eliya (Jerussalem), Al-Jazirah, Bushra, Thabariyah dan Jordania. Terkait jizyah dan kharaj dari Thabariyah dan Jordania, diurus oleh para komandan seperti Syurhabil bin Hasanah, Amr bin Ash dan Abu al-A’war As-Sulami di bawah komando panglima Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dikisah dalam Tarikh Ar-Rusul wa Al-Mulk, Ath-Thabary (juz 4, hadits no. 17).