Kisah-Kisah Kepahlawanan Kasman Singodimedjo
Kemerdekaan Indonesia dipersiapkan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Maka, pada 12 Agustus 1992, Presiden Soeharto memberikan Bintang Mahaputera kepada orang-orang yang pernah duduk di kedua lembaga tersebut.
Ada yang unik pada peristiwa itu. Seluruh eks ketua dan anggota BPUPK dan PPKI mendapatkannya, kecuali Kasman Singodimedjo. Presiden Soeharto tersinggung pada Kasman yang ikut menandatangani Petisi 50 – sebuah Petisi yang mengkritik keras rezim Orde Baru ketika itu.
Padahal, 47 tahun sebelumnya, Kasman berjasa menyelamatkan Indonesia dari Balkanisasi akibat ‘’provokasi dari Timur’’. Malam setelah paginya Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada Jumat, 17 Agustus 1945, Republik ini nyaris berkeping. Menurut Wapres Hatta, ‘’Indonesia Timur’’ mengancam keluar dari negara kesatuan yang baru terbentuk, karena tak bersetuju pada Piagam Jakarta. Piagam ini salah satunya adalah rumusan sila pertama Pancasila yang akan dimasukkan dalam Preambule UUD 1945.
Kasman berhasil membujuk pemimpin Islam untuk mengalah sementara, sehingga NKRI tetap utuh dari Sabang sampai Merauke. Kasman berkisah: ‘’… Kiai, tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT,” tutur Kasman dalam bahasa kromo inggil, yang meluluhkan Ki Bagus Hadikusumo (Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1982).
Padahal sebelumnya, alih alih menerima lobi Hatta untuk menghapus ‘’tujuh kata” dalam Pembukaan UUD 45, Ki Bagus yang Ketua Umum Muhammadiyah itu bahkan menghendaki agar frasa ”bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan sehingga tujuh kata itu jadi lima kata saja: ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.” Artinya, syariat Islam menjadi hukum nasional Indonesia.
Perjuangan Kasman Singodimedjo di pentas perjuangan sebenarnya sangat fenomenal. ‘’Kasman ditakdirkan sebagai perintis,’’ tulis Sekretaris Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Amlir Syaifa Yasin. ‘’Ibarat lembing, di mana saja ditancapkan, ia menempel,’’ imbuh Amlir.
Setelah merintis Jong Islamieten Bond dan didapuk jadi ketuanya, Kasman mendirikan National Indonesche Padvindery (Natipij) atau Kepanduan Nasional Indonesia. Ia mengetuai dan berhasil mengembangkan cikal-bakal organisasi pramuka ini secara nasional.
Terpilih sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), Kasman membentuk kepengurusan daerah-daerah yang berfungsi sebagai DPR dan DPRD. Setelah KNIP melahirkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), lagi-lagi Kasman harus ‘’nongkrongi’’ embrio TNI ini hingga berbiak menjadi kekuatan nasional. TKR sebelumnya bernama BKR (Badan Keamanan Rakyat), yang diawali dengan PETA (Pembela Tanah Air). PETA semula dibentuk Jepang, dengan Kasman sebagai komandan pertamanya. Daidancho Kasman mengembangkan PETA dan menjadikannya kekuatan milisi melawan penjajah Jepang.
Pendek kata, urusan membangun organisasi, serahkan pada ahlinya: Kasman. Salah satu kunci suksesnya adalah ketekunan turun ke bawah. Mr. Mohamad Roem, sohib Kasman, menuturkan, suatu hari setelah ceramah di Ternate, Maluku, Kasman harus menyeberang ke Bitung (Sulawesi Utara) memenuhi undangan di sana. Ketika sampai di tepi laut, tiba-tiba cuaca berubah. Angin besar, ombak laut makin tinggi. Tak ada pemilik perahu yang berani berlayar, menunggu cuaca baik kembali.
Setelah agak lama menunggu, cuaca tak kunjung bersahabat. Dalam ketidakpastian, Kasman ‘’mengaum’’. “Apakah ada nakhoda Muslim yang percaya bahwa hidup dan mati di tangan Allah? Siapa yang bersedia mengantarkan saya dalam keadaan ini ke Bitung?” teriak Kasman.