Kotak Amalpun Disorot
Divisi Humas Polri mengatakan, Jamaah Islamiyah (JI) telah menyebar sekitar 20.068 kotak amal di banyak wilayah Indonesia. Kabarnya, hasil dari itu akan digunakan untuk operasional teroris.
Dari data yang ada, ini berasal dari badan teror yang fokus penanganan ke arah sana. Menag sendiri terheran, sebabnya belum mendengar dan melihat indikasi penyalahgunaan dana umat itu.
Miris sekaligus greget membaca berita terkait kotak amal, yang diduga telah disalahgunakan oknum. Bagimana tidak miris, sudah juga nama Islam sudah tercoreng atas aksi sadisnya kawanan teroris, kini coba mengotak-atik dana umat yang sejatinya untuk kemaslahatan, dibelokkan untuk kerusakan.
Greget juga, apa benar tuduhan kotak amal telah dirampas itu signifikan? Sebab kita tak mau, ini hanya koar belaka ujung pastinya menyudutkan marwah Islam. Kotak amal adalah kambing hitam dari penyudutan. Memang benar ada kejadian uang itu digunakan mendanai, tapi mungkin persentasenya kecil. Bukan tak percaya, tapi benarkah sebombastis begitu? Jangan sampai ini kebetulan aparat menangkap dan mencurigai itu masif dilakukan. Padahal sejatinya sekadar praduga.
Pasca runtuhnya gedung kembar WTC di Amerika, sorotan dunia pada teroris telah jadi ‘momok’ menakutkan. Imbas besarnya gerakan Islam dicurigai dan Islam pun seolah mendalangi aksi sadis itu. Padahal jelas, gerakan teroris itu “ghuluw”, kalau pun pelakunya muslim.
Kenapa begitu? Jangankan membunuh banyak manusia, membunuh satu nyawa saja disamakan dengan membunuh satu semesta. Betapa dosa amat besar mereka yang mudah menumpahkan darah, mana mungkin Islam tak melarang.
Bukan hanya Islam, di agama apa pun mengajarkan perdamaian. Tentu tujuannya agar semua memahami bahwa mereka bukan refresentatif agamanya. Dia lebih pantas disebut wakil penjahat, bukan agama yang mengajarkan damai lagi sentosa.
Betapa selama ini kita sibuk melawan cap negatif yang sedihnya sudah terlanjur menempel di benak. Angka fobia tinggi, utamanya di beberapa maju. Kalau kita bertanya, kenapa bisa begitu?
Karena banyak yang salah memahami Islam dan ada juga memahami Islam dari sumber yang salah. Ujungnya saling menyalahkan. Di sisi lain, kita sebagai umat banyak yang kurang menampilkan wajah Islam yang benar. Ajaran hanya sibuk diperdebatkan dan sedikit yang dipahami, agama hanya ramai diungkapkan. Dalam manifestasi kita sering abai.
Kita bisa melihat di beberapa negeri mayoritas kejahatan moral sering terjadi. Di negeri tercinta kita misalnya, laten korupsi sampai saat ini masih duduk di peringkat tertinggi. Kemiskinan yang masih banyak. Tentu potret demikian ikut mencoreng nama Islam.
Pak Tito pernah berkata sewaktu menjadi Kapolri, bahwa lahirnya teroris bukan hanya motif agama. Dari penelusurannya, banyak juga karena motif ekonomi dan keadilan yang belum terasa. Mereka potong kompas demi tercapai kesejahteraan. Menjadi teroris satu cara tercepat.
Lantas, bagaimana sebaiknya kita menyikapi ‘suburnya’ gerakan teroris ini?
Saya teringat di buku Harari, ia mengatakan bahwa gerakan dan aksi teroris itu seumpama lalat yang memasuki toko China. Sebenarnya gerakan mereka lemah dan tak bertenaga. Jangankan memporak-porandakan toko China, menyenggol toples kaca saja ia kesulitan. Menyelesaikan kasus itu, seharusnya pemilik toko menagkap saja lalat itu. Tak harus memasukan banteng untuk menghadapi lalat itu. Belum juga banteng itu bergerak, lalat yang jeli memasuki telinga banteng hingga menyeruduk tak karuan toko China hingga. Hasilnya, hancur tak karuan!
Maksudnya, teroris itu musuh kemanusiaan. Ya, tak usah dibumbui oleh gerakan politik dan militer berlebihan. Andaikan seluruh gerakan militer dunia bersatu, mudah sekali teroris ditangkap. Cuma ya, jangan pakai drama. Ini yang sulit. Muatan apa pun harus dihindari agar murni mengenyahkan, bukan atribut demi kepentingan semu. []
Pandeglang, 18/12/2020
Mahyudin An-Nafi