SYARIAH

Lima Sumber Harta Haram Pejabat dan Pegawai Negara Menurut Islam

Hasil makelaran atau komisi dari perusahaan-perusahaan dan orang-orang tertentu untuk para penguasa (wali), para ‘amil dan pegawai negara, yang diberikan tanpa sepengetahuan negara, diserahkan di belakang, maka perbuatan ini dianggap sebagai suap (risywah). Ini diberikan kepada mereka agar perusahaan atau individu-individu tersebut memperoleh (order) penjualan, atau mendapatkan transaksi maupun proyek yang dapat mewujudkan kepentingan-kepentingan mereka, bukan kepentingan negara dan umat.

Kelima, Korupsi (Ikhtilas)

Yakni harta-harta yang dikorupsi para penguasa (wali), para ‘amil dan pegawai negara, dari harta-harta negara yang berada di bawah pengaturan (kekuasaan) mereka untuk membiayai tugas pekerjaan mereka, atau (yang mestinya digunakan) untuk membiayai berbagai sarana dan proyek, ataupun untuk membiayai kepentingan negara dan kepentingan umum lainnya.

Termasuk di dalam korupsi adalah uang yang diambil oleh pegawai-pegawai pos, telegram, telepon, dan transportasi dari kantor-kantor pemerintahan dengan jalan menambah jumlah rekening penagihan yang semestinya, melalui cara-cara penipuan, pemalsuan atau memanfaatkan kelengahan orang lain.

Uang yang diperolehnya dengan jalan korupsi atau dengan jalan mencari-cari kelengahan orang lain, penipuan dan lain sebagainya, semua itu dianggap sebagai perolehan yang haram, bukan miliknya, termasuk (perbuatan) curang. Harta tersebut harus disita dan diserahkan ke Baitul Mal.

Umar bin Khaththab jika meragukan kekayaan seorang wali atau ‘amil, maka beliau menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. Kadangkala (jumlah kelebihan itu) dibagi dua. Beliau selalu menghitung dan mencatat kekayaan seorang wali atau ‘amil sebelum diangkat sebagai pejabat.

Setelah masa tugasnya selesai kekayaannya dihitung lagi. Apabila ia mempunyai kekayaan tambahan yang diragukan, maka kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan kepada Baitul Mal.

Tindakan tersebut pernah dilakukan terhadap Abu Sufyan setelah ia kembali dari Syam -tempat anaknya Mu’awiyyah menjabat sebagai gubernur pada masa Umar bin Khaththab-. Abu Sufyan menyampaikan salam kepada Umar. Setelah itu Umar berkata -dalam hati beliau menduga bahwa Mu’awiyyah membekali ayahnya dengan uang dan barang-barang berharga untuk dibawah pulang- ‘Hai Abu Sufyan, berilah kami oleh-oleh!’ Abu Sufyan menjawab, ‘Kalau kami memperoleh sesuatu tentu engkau akan kuberi oleh-oleh’. Umar mengulurkan tangannya ke sebuah cincin yang berada di tangan Abu Sufyan, lalu diambilnya. Kemudian ia mengutus seseorang dan membawa cincin itu kepada Hindun, istri Abu Sufyan. Utusan tersebut dipesan supaya berkata kepada Hindun atas nama Abu Sufyan, ‘Perlihatkan kepadaku dua wadah yang baru engkau terima dan berikanlah keduanya.’ Utusan itu kembali membawa dua buah wadah, ternyata di dalamnya terdapat uang sebanyak 10.000 dirham. Uang tersebut diambil oleh Umar dan diserahkan ke Baitul Mal.

Semua perolehan para penguasa (wali), para ‘amil dan para pegawai negara dengan cara yang tidak syar’i, menjadi pemasukan bagi Baitul Mal. Setiap harta yang diperoleh seseorang dengan cara yang dilarang oleh syara’ juga menjadi milik Baitul Mal, karena semuanya merupakan perolehan yang diharamkan, dan tidak berhak dimiliki. []

Sumber: Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Khilafah, 2009.

Laman sebelumnya 1 2 3 4

Artikel Terkait

Back to top button