OPINI

Membangun Kerajaan di Sistem Demokrasi

Ramai-ramai para petahana membangun kerajaan di republik ini. Politik dinasti yang diperkuat oleh oligarki partai telah mencabik wajah manis demokrasi. Kini demokrasi telah menampakkan wajah aslinya, monster yang siap menghisap darah rakyat demi kelanggengan kekuasaannya.

Setidaknya ada lima calon kontestan Pilkada yang berasal dari keluarga petahana, dilansir dari akurat.co (19/07/2020). Gibran Rakabuming, putra sulung Presiden Jokowi, diusung oleh PDI-P menjadi calon walikota Solo. Menantu Presiden Jokowi, Bobby Afif Nasution atau Bobby Nasution yang berniat maju di Pilkada Medan. Bobby telah mendapat dukungan dari Partai Nasdem dan Golkar.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mendukung putri Ma’aruf Amin, Siti Nur Azizah untuk maju ke Pemilihan Kepala Daerah Tangsel 2020. Keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo maju sebagai Calon wali kota Tangerang Selatan (Tangsel). Digadang-gadang, PDI-P dan Gerindra menjadi kendaraan politiknya menuju Pilkada. Pilar Saga Ichsan, anak Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, maju mendampingi Benyamin Davnie sebagai calon Wakil Wali Kota Tangsel.

Memaksa Pilkada di tengah pandemi saja telah menyakiti hati rakyat. Bukannya serius menangani wabah, justru sibuk dengan kontesasi yang sedikitpun takkan memberi keuntungan pada rakyat. Alih-alih memindahkan alokasi dana pilkada ke penanganan covid-19, sebaliknya justru minta tambahan dana Pilkada. Sementara jutaan rakyat telah kehilangan pekerjaan dan angka kemiskinanpun bertambah.

Bukan sekedar meramaikan Pilkada, hadirnya calon dari keluarga petahana membuktikan dua hal. Pertama, adanya dinasti politik. Kedua, menelanjangi partai-partai yang menjadi oligarki.

Pertama, dinasti. Menurut wikipedia, dinasti politik adalah kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Fenomena dinasti politik bukan kali ini saja dan bukan hanya di Indonesia. Ia menjadi keniscayaan dalam sistem demokrasi.

Jika di Indonesia kita mengenal keluarga Cendana untuk dinasti politik Soeharto. Gurita Cikeas untuk politik keluarga SBY. Namun tidak hanya kedua mantan presiden tersebut yang membangun kerajaan di Indonesia. Ada mantan Presiden Soekarno yang saat ini anak, menantu, hingga cucunya menjadi pejabat negeri. Dan masih banyak lagi.

Amerika Serikat memiliki banyak sekali dinasti politik. Peter Schweizer menyebut keluarga Bush sebagai “dinasti politik tersukses sepanjang sejarah Amerika Serikat”. Ada pula keluarga Kennedy dan keluarga Clinton,

Kedua, oligarki partai. Partai adalah kendaraan politik para kontestan politik. Sedangkan oligarki semakna dengan pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.

Ketika calon yang diusung oleh partai memenangkan kontesasi, maka nyaris semua kebijakan dipengaruhi oleh elit partai. Silakan lihat sendiri fakta kepemimpinan Presiden Jokowi jilid 2 ini. Siapa pengusung RUU HIP, RUU Omnibus Law, UU Minerba, UU Corona. Rakyat menolak, tapi tetap saja dibahas dan diketok palu. Partai tertentu telah mengendalikan negeri ini. Banteng moncong putih menjadi pengusung dan pengendali pemerintahan saat ini.

Fenomena dinasti politik dan oligarki partai adalah hal lumrah dalam sistem demokrasi. Sistem yang memisahkan agama dan kehidupan ini meniscayakan manusia sebagai pembuat aturan hidup termasuk pemerintahan. Maka, keinginan untuk selalu berkuasa demi meraih kebahagiaan hidup akan diejawantahkan dalam aturan yang dilegalisasi agar tak terkesan rakus.

Allah Swt. berfirman dalam surah Ali Imron ayat 14 yang artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”

Demokrasi hanya memberikan fasilitas kesenangan hidup di dunia yang semu. Itupun hanya dinikmati oleh segelintir orang. Terutama para elit politik yang telah memiliki singgasana kekuasaan yang empuk. Tak cukup mendudukkan dirinya, perlu juga menjadikan keluarganya menjadi pejabat, membangun kerajaan.

Sementara untuk rakyat biasa, demokrasi telah memberikan harapan kosong dan janji palsu lewat mulut berbisa kontestan pemilu. Disambangi tiap jelang pesta politik, namun dianggap tak ada ketika si kontestan telah duduk di kursi jabatan.

Sebuah karikatur yang beredar di mesin pencarian Google, sangat tepat menggambarkan sistem demokrasi kapitalisme ini. Ada seorang pejabat yang duduk di kursi, dengan perut yang sangat buncit karena kekenyangan.

Di karikatur itu tertulis pertanyaan yang dilontarkan oleh si pejabat: “Mana rakyat? Saya tak melihatnya dari sini.” Jelas tak terlihat, karena badan rakyat yang kecil dan kurus berada di bawah perutnya yang buncit. Ironis. []

Mahrita Julia Hapsari
Komunitas Muslimah untuk Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button