RESONANSI

Membasmi Terorisme dengan Teror

Terberitakan bahwa Densus 88 akan melakukan penangkapan kembali. Kini target disebut-sebut dua sosok populer dan eksis di TV. Seorang akademisi lainnya politisi. Pihak kepolisian masih merahasiakan identitasnya. Rencana penangkapan ini dikaitkan dengan keterlibatan dalam jaringan Jamaah Islamiyah (JI).

Sebelumnya tiga ulama: Farid Okbah, Anung Al Halmat, dan Ahmad Zein ditangkap juga dengan tuduhan yang sama terlibat Jamaah Islamiyah (JI). Bergeser dari status sebagai Dewan Syura menjadi penggalang dana. Tetap publik tertutup dari informasi yang jelas dan sesungguhnya. Isu terorisme menjadi “alasan pembenar” untuk menutup akses. Prinsip negara hukum telah lama tercederai.

Dengan target dua tokoh yang dipublikasikan akan ditangkap tanpa penjelasan baik nama maupun tindakan teror yang dilakukannya adalah sebuah teror. Apalagi sekadar sinyal liar. Publik dibuat menduga-duga dan mencurigai sesama. Densus 88 menjadi lembaga pemberantasan terorisme dengan cara teror. Perlu evaluasi dan koreksi.

Jamaah Islamiyah (JI) adalah hantu yang menakutkan atau dibuat untuk menakut-nakuti. Organisasi atau aktivis dakwah tidak banyak mengenal Jamaah yang konon “berjuang untuk Islam” ini. Makhluk apakah ia. Pengamat terorisme hanya mampu bercerita tentang indikasi hingga mutasi tanpa bersambung dengan pengetahuan dan perasaan publik tentang keberadaannya sebagai kelompok “pejuang Islam”.

Sebagai upaya pencegahan sebaiknya Pemerintah membuka ke ruang publik seluas-luasnya tentang keberadaan Jamaah Islamiyah baik struktur, program, pimpinan dan personal yang ada di dalamnya. Sejauh mana dasar hukum yang melandasi sebagai organisasi teroris. Pengetahuan Pemerintah, khususnya Densus 88, tentu sudah sangat dalam. Ungkapan pengamat bahwa JI telah berubah menjadi organisasi dakwah dan kemanusiaan perlu mendapatkan klarifikasi.

Jika tetap berbahaya jelaskan bahayanya sehingga masyarakat atau umat Islam mewaspadai, jangan sampai terjebak atau Jamaah Islamiyah (JI) oleh pihak tertentu dijadikan jalan atau sarana untuk menjebak. Di masa Orde Baru dahulu muncul berbagai organisasi militan ‘buatan’ yang digunakan untuk menjebak. Dalam konteks global Al Qaeda dan ISIS juga bukan murni organisasi perjuangan umat Islam. Banyak pihak yang ikut bermain.

Nah, ancaman bahwa akan ada dua tokoh akademisi dan politik yang akan ditangkap oleh Densus dengan tuduhan terorisme adalah tidak sehat. Kualifikasi teroris atau tindakan terorisme harus berbasis hukum dan perundang-undangan. Bukan bersandar pada kepentingan politik, apalagi sekadar posisi seseorang sebagai tokoh oposisi.

Indonesia adalah negara ber-ketuhanan YME dan ber-kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara demokrasi dan negara hukum bukan negara kekuasaan. Negara berdaulat yang tidak boleh tunduk pada kemauan dan pemaksaan global. Terorisme global baik otonom maupun dikendalikan oleh negara harus diantisipasi.

Kita sebagai bangsa yang cinta damai setuju memberantas terorisme akan tetapi penanganan harus dengan berbasis hukum, keadilan, dan kemanusian. Tidak memberantas terorisme dengan cara teror. Sebab jika demikian, apa bedanya?

M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Bandung, 4 Desember 2021

Artikel Terkait

Back to top button