Menarik, Pemikiran Politik Abdul Qadir Djaelani
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya-lah kembali (kita).” (Asy Syura 15)
Tentu, selain hukumnya harus adil, pelaku hukum (penguasa) itu juga harus mempunyai sifat adil. Karena itu Rasulullah menjamin bahwa penguasa yang adil, jaminannya adalah surga. Bersikap adil itu tidak mudah, penguasa biasanya cenderung mementingkan kepentingan pribadi, keluarga atau oganisasinya.
Rasulullah Saw menyatakan,”Ada tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Pemimpin yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Bukhari Muslim). (Lihat https://wartapilihan.com/adil-dalam-al-quran/).
Yang mungkin jadi pertanyaan, apakah Undang-Undang Dasar itu bisa berubah? Bisa. Pada masa Rasulullah saw menjadi Kepala Negara selama 10 tahun, beliau telah melakukan dua kali amandemen. Pertama, memasukkan golongan Kristen Najran sebagai golongan minoritas, di samping golongan Yahudi yang telah terlebih dahulu diatur dalam konstitusi. Kedua, memasukkan golongan Majusi Yaman dalam golongan minoritas. Lalu pada masa Khalifah Umar bin Khattab, amandemen juga dilakukan. Yaitu memperluas pengertian minoritas dengan istilah kaum dzimmi (kaum yang dilindungi).
Pakar politik Islam, Al Farabi menyatakan bahwa tujuan akhir negara yaitu terwujudnya kebahagiaan. Untuk mencapai kebahagiaan itu, ‘setiap warganegara’ haruslah memiliki ide yang tinggi yang siap sedia menyumbangkan rohani dan jasmaninya untuk kepentingan bersama sebagai warga negara. Kebahagiaan yang akan dicapai itu tidak bersifat perorangan, tapi kebahagiaan bersama yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat. (halaman 96)
Kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir bagi negara hanya dapat dicapai oleh semua warga negara jika setiap warga negara meletakkan dasar niat dan motivasi yang murni dan ikhlash, terbebas dari setiap bentuk hawa nafsu dan terhindar dari perbuatan yang buruk dan jahat.
Senada dengan al Farabi, Imam Ghazali juga berpendapat bahwa tujuan negara yaitu untuk tercapainya kebahagiaan yang sempurna. Untuk mencapai kebahagiaan yang sempurna itu setiap warganegara harus senantiasa mengikuti ketentuan-ketentuan Allah dengan pola contohnya yang diberikan oleh NabiNya. Hidup bahagia yang diajarkan Nabi saw adalah hidup yang paripurna. Hidup dimana rohani dan jasmani merasakan kepuasan dan kenikmatan di dalam ruang lingkup keridhaan Allah SWT. Hidup bukanlah untuk makan saja, bukan pula hanya untuk kepentingan diri pribadi belaka. Tidak pula hanya nikmat rohani dengan meninggalkan kesenangan duniawi dan tidak juga kebahagiaan liar yang tidak mengenal aturan. Kebahagiaan rohani dan jasmani ialah kepuasan rohani dan jasmani menurut jalan-jalan di dalam aturan-aturan yang ditetapkan Allah.
Allah SWT berfirman, ”Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar (bahagia di atas bahagia).” (QS al Ahzab 71)
“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS al Baqarah 201)
Tujuan negara paling tinggi atau paling ideal adalah sebagaimana pendapat al Farabi dan Imam Ghazali. Sedangkan tujuan negara yang paling dekat, yang mesti dicapai di dunia ini adalah terwujudnya negara yang adil dan makmur dalam limpahan ampunan Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Tujuan negara semacam ini pernah diajukan oleh Partai Islam Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada tahun 1945-1960, sebagaimana terlampir dalam Tafsir Asas Partai Masyumi.