TELADAN

Mencari Ulama Pelita dalam Kegelapan

Ulama adalah sosok teladan. Ucapan dan perangainya digugu dan ditiru masyarakat awam. Ulama adalah gudangnya ilmu, penebar nasihat dan penengah pertikaian. Ia membawa kemashlahatan ummat dan menjadi penenang di saat seteru melanda. Ia tempat bertanya bagi yang gundah gulana akan masalah hidup yang membebani. Ia tempat berteduh bagi orang yang bingung mencari solusi hidup. Ia tempat orang mereguk berkahnya hidup dengan aliran ilmu yang bermanfaat. Menjadi pewaris para Nabi karena hidupnya senantiasa ada untuk umat. Begitulah seharusnya ulama. Ada untuk meluruskan umat, ada untuk membimbing umat, ada untuk bersama-sama dengan umat menapaki jalan menuju rida Illahi.

Namun dimanakah kini sosok ulama tersebut? Ulama pewaris para Nabi kini hakikatnya menjadi barang langka. Kehadiran sosok ulama yang dinanti umat itu terpisah jauh dengan rentang sejarah panjang yang telah berlalu. Saat para ulama dulu berjuang tak mengenal waktu dan tempat menapaki jengkal demi jengkal tanah demi mensyiarkan Islam. Kini banyak ulama yang terjebak dalam budaya lokal. Tertipu fatamorgana kesenangan dunia fana. Mencukupkan diri dengan adat istiadat yang ada. Malah budaya terkadang lebih diagungkannya dari syariah islam. Akhirnya ia ikut menyeret umat yang berada di belakangnya dalam kebodohan dan kejumudan.

Dulu para ulama itu senantiasa bersegera melaksanakan ajaran Islam, ringan ataupun berat yang dirasa tak jadi kendala. Namun hari ini kita jumpai ulama itu lebih mengedepankan kompromi. Mana hal yang ia rasa berguna untuknya ia lakukan. Mana syariah Islam yang menghalangi langkahnya ia singkirkan.

Tak aneh memang di era sekuler seperti saat ini, ulama adalah salah satu kunci sukses supaya umat terbelenggu makin dalam pada sistem yang ada. Mereka bahkan menjadi salah satu corong yang pas untuk menyuarakan nada-nada sekuler yang busuk menjadi manis nan elegan.

Itulah ulama suu’. Yakni ulama jahat yang menggunakan ilmunya bukan untuk kemaslahatan umat tapi untuk memuaskan nafsu dunianya. Merekalah yang menyesatkan umat dan menjadi salah satu corong rezim untuk menjegal kebangkitan Islam ideologis.

Rezim saat ini menyadari bahwa telah terjadi migrasi politik dari kendali parpol menuju kendali ormas dan gerakan. Sehingga para ulama sebagai pemimpin dari berbagai gerakan islam di tanah air ini menjadi alat yang harus dipastikan keberpihakannya.

Demikianlah mengapa pemerintah begitu gencar mendekati para ulama yang secara tak langsung telah mengotak-ngotakkan ulama moderat dan fundamentalis-radikal versi mereka. Memilah mana ulama yang pro dan kontra terhadap pemerintah. Kasarnya, mereka memilah mana ulama yang mau dibayar dan mana yang tak mau dibayar. Jelas politik stick and carrot telah dijalankan rezim saat ini. Untuk ulama yang tidak bisa dibungkam dengan politik jamuan meja makan atau politik kursi jabatan, maka sesegera mungkin dihempaskan. Kriminalisasi, alienisasi atau persekusi menjadi jalan akhir yang ditempuh supaya tidak lagi mengguncang rezim.

Begitulah yang terjadi pada ulama yang lurus di zaman sekuler-kapitalistik saat ini. Ulama-ulama yang mukhlis dan tegas bicara tentang Islam kaffah dianggap menjadi batu sandungan yang harus disingkirkan. Ulama-ulama yang keras mengkritik kebijakan zalim pasti menjadi duri yang harus dibuang. Ulama semacam itu dianggap bahaya, bukan sebagai rekan kerja.

Jauh berbeda dengan para ulama tatkala berada di bawah naungan sistem Islam. Mereka bergandengan tangan erat dengan pemerintah untuk sama-sama menjalankan Islam kaffah. Bersama-sama untuk menciptakan ketentraman hidup dan menuai keberkahannya di dunia dan akhirat. Seharusnya ulama memang bukan musuh dari pemerintahan. Karena keduanya adalah sama-sama pelayan umat.

Seperti Imam ‘Atha’bin abi rabah di masa khalifah Hisyam bin abdil malik yang selalu memberikan nasihat sampai sang khalifah hanya tertunduk dan menangis. Salah satu nasihatnya yaitu supaya Khalifah Hisyam memenuhi hak seluruh penduduk Makah dan Madinah. Sebab mereka yang berada di dua kota suci itu merupakan tamu Allah Swt., dan tetangga Rasulullah saw.

Beliau juga mengingatkan agar Khalifah Hisyam membagikan kelebihan sedekah kepada penduduk Najd dan Hijaz, memerhatikan keluarga mujahid yang berada di perbatasan mempertahankan negeri kaum Muslimin, serta tidak menzalimi orang-orang kafir dzimmi sebab mereka adalah amanah dari Allah dan Rasulullah.

Para ulama adalah pelanjut tongkat estafet dakwah Rasulullah yang diteruskan para khalifah dan tabi’it tabi’in. Sehingga seharusnya titel ulama hanya disematkan para orang yang mempunyai ciri-ciri seorang ulama.

Ciri-ciri ulama’ pewaris nabi yang pertama ialah takut akan Allah SWT. Hal ini sebagaimana Firman Allah.

“….. Sesungguhnya golongan yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya ialah para ulama’. Sesungguhya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,”(QS. Al-Fathir: 28)

Ibnu Abbas berkata, “Sesiapa yang takut akan Allah, maka dia adalah orang alim”. Kedua, Ia beramal dengan segala ilmunya. Sebagaimana sebuah hadist dalam Sunan Ad-Darimi: “Sesungguhnya orang alim itu adalah orang yang beramal dengan apa yang dia ketahui.”

Sayyidina Ali berkata, “Wahai orang yang mempunyai ilmu! beramallah kamu dengannya karena sesungguhnya orang yang alim itu adalah orang yang beramal dengan ilmu yang dia ketahui, serta selaras antara ilmunya dengan amalannya”.

Ketiga, seorang ulama haruslah hatinya bersih daripada syirik dan maksiat, serta tidak tamak kepada makhluk di dunia.

Ibnu Umar berkata, “Tiadalah seseorang lelaki itu dianggap alim sehingga dia tidak hasad dengki kepada orang yang lebih alim daripadanya, tidak menghina orang yang kurang daripadanya serta tidak mencari dengan ilmunya upahan kebendaan”.

Keempat, ia meneruskan tugas nabi, yaitu mendidik, membersihkan hati umat dari syirik dan maksiat serta berdakwah, menyeru ummat untuk mengikuti perintah Allah. Bukan sebaliknya.

Hal ini sebagaimana dalam surah al-Jumaah ayat 2, “Dialah (Allah) yang telah mengutuskan kepada kalangan orang-orang arab yang buta huruf seorang rasul dari bangsa mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat Allah yang membuktikan keesaan Allah dan kekuasaanNya. Dan membersihkan mereka daripada aqidah yang sesat serta mengajarkan mereka kitab Allah dan hikmat pengetahuan yang mendalam mengenai hukum-hukum syariat. Dan sesungguhnya mereka sebelum kedatangan nabi Muhammad SAW adalah dalam kesesatan yang nyata.”

Demikianlah sosok ulama pelita dalam kegelapan yang dibutuhkan ummat. Yakni sosok yang siap menjadi penjaga islam tangguh dan terpercaya. Wallahu’alam bishawab

Anisa Rahmi Tania
Aktivis Muslimah Jakarta Utara

Artikel Terkait

Back to top button