Mengapa Harus Mendiskreditkan Muslim dan Sunda?
Kasus pembunuhan Letkol Purn. Muhammad Mubin terus menggelinding. Kejanggalan dan rekayasa mulai terkuak. Dari tersangka “diludahi” dan “pukul memukul” dalam keterangan awal menjadi “penyerangan langsung” dengan menusukkan pisau ke leher, dada, dan perut. Karenanya bergeser juga tuduhan dari “penganiayaan” menjadi “pembunuhan” bahkan “pembunuhan berencana”.
Pemeriksaan awal di tingkat Polsek Lembang maupun Polres Cimahi nampak ada upaya menutupi identitas tersangka. Yang bersangkutan berdasarkan pengetahuan lingkungan adalah warga yang dahulu disebutnya WNI keturunan. Demikian juga dalam pemberitaan yang bersangkutan disebut “Aseng”. Nama aslinya entah Henry Handoko atau Henry Hernando.
Saat ditangkap Henry tidak bertopi akan tetapi sewaktu pemeriksaan foto yang beredar berpeci mengesan sebagai muslim, bahkan hingga keluarnya SPDP ke Kejaksaan Henry Hernando disebut “bin” nya pula. Ketika Purnawirawan menggeruduk Polsek Lembang, Kapolres Cimahi yang turut hadir berulang menyatakan tersangka itu “Sunda”. Akhirnya soal “Sunda” dan “Cina” menjadi bahasan serius dan hangat dalam dialog.
Penonjolan status “Muslim” dan “Sunda” ini aneh untuk kejahatan sadis Aseng atau Henry Hernando yang membunuh mantan Dandim Tarakan. Status dibuat secara berlebihan. SARA yang dijadikan proteksi. Sebelumnya dalam kasus mengguncangkan pembunuhan Brigadir J di kediaman Kadiv Propam, maka Irjen Ferdy Sambo atau lainnya yang menjadi tersangka tidak disebut atau diangkat identitas “Kristen” “Toraja”, “Batak”, atau lainnya. Agama dan suku diabaikan dan memang tidak relevan.
Dalam kasus Henry Hernando berbeda, di samping terjadi kebohongan atau rekayasa juga ternyata ada penonjolan identitas itu. Apa maksudnya? Mungkin pihak Kepolisian ingin menghindari aspek sentimen SARA bahwa pembunuh adalah “Cina” atau dahulu disebut WNI keturunan yang sensitif dalam masyarakat.
Ada sentimen kuat atau sorotan terhadap etnis ini yang dinilai sebagai minoritas yang hidup lebih makmur dibanding mayoritas pribumi dan tidak jarang bersikap arogan. Terbiasa pula mengandalkan “beking” dari aparat di belakangnya.
Implikasi penonjolan atau penggiringan identitas ini justru bernuansa dan berbahaya. Henry Hernando yang dicitrakan “Muslim” dan “Sunda” dengan mengaburkan atau mengubur “Cina” adalah sikap yang mendiskreditkan. Seolah-olah “Muslim” dan “Sunda” itu si pembunuh sadis tersebut. Menutupi fakta “Cina” yang membunuh “Pribumi” atau “Bumiputera”.
Kepolisian sebaiknya mengoreksi penggunaan pola “menutupi SARA dengan SARA” biarlah kasus ini berstatus apa adanya. Pengusaha Henry Hernando yang membunuh sadis Letkol TNI Purn. Muhammad Mubin. Jangan biarkan pula publik bertanya lebih menukik benarkah Henry itu “Muslim” dan benarkah pula Henry itu “Sunda”?
M. Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 23 Agustus 2022