Mengapa Kaum Muslimin Mundur?
Tentang hal ini, Rasyid Ridha menambahkan komentar: “Umat Islam suka menuntut keduniaan, tapi mereka meninggalkan rukun Islam yang amat penting yang mengenai keduniaan, yaitu zakat dan jihad dengan harta benda (zakat, infak, sedekah dll) dan jiwa dalam membela agama Allah.”
Kemudian Rasyid Ridha mengungkapkan contoh tentang dogma pasukan Italia ketika menyerbu Tripoli (Libia) yang dimuat dalam “Asy Syarq” nomor 543:
“Sesungguhnya daripada sebesar-besar kehinaan bagi seorang pemuda Italia –yang telah berumur 20 tahun jika ia tidak ikut berperang, memerangi Tripoli—untuk membela tanah airnya, mempertahankan bendera yang berwarna tiga, padahal bunyi musik peperangan selalu memanggil untuk menyadarkan jiwa yang berani maju ke depan,”Wahai para ibu! Sempurnakanlah sembahyang ibu dan janganlah ibu menangis, tetapi tertawalah dan berharaplah engkau dengan sungguh-sungguh! Tidakkah ibu mengetahui bahwa Italia memanggil-manggil aku, dan aku akan berangkat pergi menuju Tripoli dengan riang gembira, guna mengorbankan darahku untuk menghapuskan umat Islam yang terkutuk itu; dan untuk memerangi agama Islam yang memperkenankan para rajanya mengawini gadis-gadis yang remaja puteri! Aku akan memerangi dengan kekuatanku untuk menghapuskan Al-Qur’an yang selalu dipuja-puja oleh umat Islam, umat yang terkutuk itu! Tidak akan termasuk orang yang terhormat, siapa-siapa yang tidak mati selaku bangsa Italia yang sejati!”
Tapi meski demikian ketika itu pasukan kaum Muslimin Arab saat itu tidak pernah menyerah. Pertempuran yang terjadi di “Fuwaihat” dekat pintu “Baghazi” di sana ada 150 tentara Muslim Arab yang tetap tegak mempertahankan kota, menghadapi 3000 tentara bangsa Italia dari pagi sampai petang. Saat itu hampir semuanya pasukan Islam meninggal, tinggal beberapa orang saja yang masih hidup karena ditinggal pergi pasukan kafir Italia yang mengira mereka telah mati semuanya sebab hari telah malam.
Saat kaum Muslimin berduka mendengar kabar peristiwa itu, tiba-tiba datang “berita kawat” dari Istanbul Turki, yang mengutip berita resmi dari Kedutaan Jerman di Roma, yang menyatakan bahwa dalam pertempuran yang hebat itu pasukan Italia yang tewas 1500 orang dan pimpinan pasukan mereka yang gila sebanyak tujuh orang.”
Penulis buku itu juga menganjurkan agar umat Islam mandiri perekonomiannya. Kata Arsalan: “Aku pernah mendengar bahwa bangsa Inggris yang ada di daerah jajahannya, mereka tidak suka membeli barang-barang yang diperlukan terutama barang-barang yang berharga. Melainkan mereka mesti membeli (pesan) dari negeri mereka sendiri (London). Dengan tujuan agar keuntungan perdagangan itu jangan sampai jatuh ke luar dari negeri mereka. Peristiwa yang sedemikian itu kiranya dapat dijadikan ukuran bagi perangai umat Islam dewasa ini, yang bagaimanapun kami nasehati atau kami peringatkan supaya berjual beli dengan/dari kedai-kedai bangsa sendiri yang setanah air dan seagama; tapi pada umumnya mereka sangat tidak memperdulikannya karena dirasanya perkara kecil.
Mereka tetap berjual beli dan tetap berbelanja ke dari kedai-kedai bangsa Eropa meninggalkan kedai-kedai bangsa sendiri yang sebangsa dan setanah air. Tidakkah peristiwa yang sedemikian itu menjadi sebab rusaknya pemboikotan bangsa Arab kepada kaum Yahudi di Palestina? Umat Islam mencuci diri mereka sendiri dengan satu senjata yang tajam. Mereka pura-pura memboikot barang-barang kaum Yahudi, lantaran perbedaan harga yang sedikit. Dalam sebentar waktu mereka kembali berhubungan dengan kaum Yahudi. Karena mereka lupa bahwa bahaya yang mereka dapati lantaran berjual beli dengan bangsa Yahudi itu ada lebih besar, seribu kali lipat bahayanya.”
Dahsyatnya jihad harta ini juga diungkap oleh Ulama Intelektual Hamas, Dr Nawwaf Takruri dalam bukunya “Al Jihadu bil Mal fi Sabilillah” (Dahsyatnya Jihad Harta, terj.). Dalam karyanya itu Dr Nawaf menjelaskan bagaimana orang-orang Yahudi dan organisasi Yahudi seluruh dunia seluruh dunia saling bantu membantu untuk melestarikan dan memajukan Negara Israel. Diantaranya yang menarik adalah solidaritas sebuah keluarga Yahudi mengurangi konsumsi gulanya per hari, agar uang penghematan gula itu dapat disumbangkan ke organisasi Yahudi.
Begitu juga kita ingat bagaimana solidaritas kaum Yahudi, Amerika dan sebagian negara Eropa yang melakukan pemboikotan besar-besaran terhadap rekening dan keuangan Hamas di luar negeri. Yakni ketika Hamas menang pemilu secara demokratis mengalahkan Fatah awal 2006. Dengan pemboikotan keuangan itulah akhirnya AS (dan kaum Yahudi) dapat memecah belah rakyat Palestina, karena Hamas menjadi kewalahan membayar pegawai, tentara dan menyejahterakan rakyatnya. Di samping juga karena pengkhianatan beberapa tokoh Palestina sendiri, yang menjadi antek Amerika-Yahudi untuk menyingkirkan Hamas dari pemerintahan.
Tentang masalah pengkhianatan yang dilakukan beberapa tokoh di negeri-negeri Islam itu diuraikan panjang lebar oleh Ustadz Al Amir Syakib Arsalan. Ia mengatakan: “Bangsa Perancis tetap bersikap keras dan kasar kepada umat Islam (Bangsa Barbar-Aljazair), lantaran bantuan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai orang-orang Islam dan ulama Islam, padahal mereka itu sesungguhnya perusak Islam. Sebab itu dapatlah dikatakan, bahwa bangsa Prancis menghancurbinasakan Islam itu dengan alat penggali yang ada di tangan anak-anak Negara Islam sendiri.”
Rasyid Ridha menambahkan komentar: “Yang lebih ganjil dari semuanya itu, ialah orang-orang yang berkhianat itu, mereka menjual Negara mereka semuanya itu kepada bangsa asing dengan harga yang sangat rendah…Dan sekiranya mereka itu berusaha dengan ikhlas untuk menolak kemauan bangsa asing, niscaya bagi mereka akan dapat lebih banyak daripada yang diberikan bangsa asing itu.”
Allah SWT mengingatkan: “Dan tidaklah Tuhanmu akan membinasakan suatu negeri dengan kezaliman, jika memang benar-benar penduduknya orang-orang yang berbuat kebajikan (muslihun).” (QS Hud: 117).