MASAIL FIQHIYAH

Menyikapi Perbedaan Mazhab

رَأْيِي صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِي خَطَأٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ

Pendapat saya benar namun berpotensi salah. Sebaliknya, pendapat yang lain itu salah, namun berpotensi benar.

Mereka pun saling memuji satu sama lain; mereka saling menerima alasan dan argumentasi satu sama lain. Yang yunior menggambarkan yang senior sebagai bintang dan tetap bersikap tawadhu‘ terhadap seniornya. Sikap-sikap ini dan juga sikap serupa yang lainnya telah menerangi pikiran dan menguatkan ikatan batin mereka. Namun, sikap ini tidak lagi diwarisi oleh para pengikut mereka. Ijtihad pun mereka tutup. Mazhab pun dibatasi hanya empat. Padahal masih banyak ulama yang mampu berijtihad dan membangun mazhab sendiri. Sikap inilah yang menyebabkan lahirnya sikap fanatisme mazhab. Dengan kata lain, fikih dan fuqaha’-nya dijadikan layaknya monumen.

Tindakan memonumenkan fikih dan fuqaha’ itu melahirkan sikap, bahwa fikihnyalah yang diklaim paling benar, sedangkan yang lain salah; fuqaha’-nya juga dianggap sebagai yang paling hebat, sementara yang lain tidak. Sikap seperti ini bisa berubah menjadi fanatisme mazhab yang sempit, dan bisa menjerumuskannya dalam tindakan mengkafirkan atau menyesatkan fikih dan fuqaha’ lain, berikut para pengikutnya. Sebaliknya, muncullah sikap menganggap dirinya, fikih dan mazhabnyalah yang benar. Sikap inilah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan konflik di kalangan pengikut mazhab, sebagaimana yang pernah terjadi antara para pengikut Hanafi dan Syaf’ii pada masa lalu.

Realitas ini hingga kini pun masih terjadi. Bahkan yang sangat mengkhawatirkan, ketika penyakit seperti ini diderita oleh para ulama, bukan hanya orang awam.

Satu-satunya solusi untuk menyembuhkan penyakit seperti ini adalah dengan memposisikan fikih dan fuqaha’ pada posisi sejajar, sebagaimana yang pertama digariskan oleh syariah dan diejahwentahkan oleh para Sahabat. Dengan posisi tersebut, tak ada satu pun fikih dan fuqaha’ yang dilebihkan satu sama lain. Sebab, mereka masing-masing adalah mujtahid. Masing-masing akan mendapatkan pahala dan harus diberi ucapan selamat, ketika benar, dan tetap mendapatkan pahala, dan harus dimaafkan, jika kemudian terbukti salah. Pada titik inilah as-Suyuthi menyatakan:

Aneh, ada orang yang mengagung-agungkan sebagian mazhab melebihi yang lain. Pengagungan ini yang menyebabkan berkurang dan jatuhnya martabat mazhab yang dikalahkan, bahkan kadangkala menyebabkan konflik di tengah orang awam. Lahirlah kemudian fanatisme dan sentimen Jahiliah. Seharusnya, para ulama bersih dari perkara-perkara tersebut. Karena, perbedaan furû‘ tersebut benar-benar telah terjadi pada zaman Sahabat, padahal mereka adalah umat terbaik. Namun, tak satu pun di antara mereka ada yang menyerang atau memusuhi yang lain, juga menyatakan yang lain salah dan pendek akalnya. [6]

Para Sahabat—ridhwânullâh ‘alayhim—adalah fuqaha’ pertama, bahkan penghulu para fuqaha’. Terhadap mereka, Rasulullah menyatakan:

أَصْحَابِي كَالنُّجُوُمِ، بِأَيِّهِمْ اقْتَدَيْتُمْ، اِهْتَدَيْتُمْ

Para Sahabatku bagaikan bintang. Kepada siapapun di antara mereka kalian ikut, maka pasti kalian akan mendapatkan petunjuk. (HR ad-Daruquthni dan al-Khathib) [7]

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya
Back to top button