Merenungi Al-Qur’an (6)
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (adz Dzariyat 21)
Banyak ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa akhirat itu lebih baik dan kekal. Rasulullah saw sendiri menyatakan bahwa kehidupan dunia adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat. Orang yang beriman dan beramal shalih (berbuat kebajikan sesuai tuntutan Allah dan RasulNya) maka ia akan memetik buahnya di akhirat nanti.
Akhirat mesti dijadikan visi bagi seorang Muslim. Ia harus mengaitkan semua perbuatannya dengan pahala dan dosa. Berpahala atau berdosakan bila perbuatan ini aku lakukan? Bila tahu perbuatan itu berpahala, maka ia bersemangat tinggi untuk melakukannya. Bila tahu perbuatan itu dosa, ia segera meninggalkannya dan segera mohon ampun kepada Allah bila ia melakukannya. Ia menghisab (mengevaluasi) dirinya lebih dulu, sebelum di akhirat nanti ia dievaluasi.
Al-Qur’an mengingatkan, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al Qashash 77)
Dengan visi akhirat itu, maka seorang Muslim akan senantiasa ingin berbuat baik selama hidupnya. Inilah filsafat Islam. Beda dengan filsafat Barat yang tidak meyakini kehidupan akhirat (tipis keyakinan), sehingga di dunia seenaknya melakukan perbuatan dosa, mencuri uang rakyat, berzina, mabuk minuman keras, menipu, bunuh diri dan lain-lain.
Bacalah sejarah kehidupan tokoh-tokoh Barat yang amburadul dan tidak bisa dijadikan teladan. Penulis beberapa waktu lalu membaca sejarah ilmuwan Jerman bernama Goethe. Kehidupannya ‘sama sekali’ tidak bisa dicontoh. Ia sering gonta ganti perempuan tanpa menikah.
Menarik kita timba pengalaman dari Dr Jeffry Lang, seorang ahli matematika yang mualaf. Ia cerita bagaimana ia pindah dari agama Kristen kemudian Ateis karena tidak menemukan jawaban yang memuaskan untuk apa hidup di dunia ini. Ia berpindah masuk Islam, setelah membaca Al-Qur’an dengan seksama.
Ia mengatakan bahwa dalam agama Kristen hidup di dunia ini untuk menebus dosa karena manusia dilahirkan dengan dosa. ‘Ateis tidak jelas konsep hidupnya, hanya untuk bersenang-senang di dunia, karena tidak meyakini adanya kehidupan akhirat.’ Ia bertemu dengan ayat yang menakjubkan surat al Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Tugas manusia di bumi adalah untuk memakmurkan dunia (khalifah). Untuk saling tolong menolong sesama. Bukan untuk saling menindas, rebutan kuasa sebagaima ‘filsafat komunisme’. Maka renungkanlah mengapa setia perbuatan baik yang kita lakukann disunnahkan membaca Bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Di surat al Qashash 77 itu, juga jelas misi seorang Muslim di dunia : “…dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Perbuatan baik berkelindan dengan perbuatan baik lainnya. Perbuatan jahat berkelindan dengan perbuatan jahat lainnya. Sedekah misalnya menimbulkan perasaan kasih sayang kepada orang lain. Orang yang disedekahi mendoakan orang yang bersedekah. Dengan sedekah dibudayakan, maka tumbuh dalam masyarakat itu budaya kasih sayang.