Miris, Serangan Impor Ayam Ancam Kedaulatan
Pada 2014, Brasil memenangkan gugatan di WTO atas Indonesia. Pasalnya, Indonesia dinilai membatasi ekspor ayam broiler Negeri Samba tersebut masuk Indonesia.
Indonesia diputuskan bersalah karena menyalahi empat ketentuan WTO, yakni mengenai daftar impor Indonesia, persyaratan penggunaan produk impor, perijinan impor dan penundaan persetujuan sertifikat kesehatan veteriner. Ketentuan-ketentuan WTO tersebut ada dalam GATT (General Agreement on Tarifs and Trade) 1994.
Adapun bila menilik prinsip GATT yakni prinsip National Treatment dan Non Tarifs Measure, tentunya Indonesia harus terikat sebagai anggotanya. Prinsip National Treatment menyatakan bahwa produk hasil impor harus diperlakukan sama dengan produk dalam negeri. Prinsip Non Tarif Measure menyatakan bahwa negara anggota GATT hanya boleh meningkatkan tarif bea masuk produk impor dalam melindungi produk dalam negeri. Dari sini bisa dipahami bahwa semua negara anggota GATT siap tidak siap harus mengikuti pola-pola perdagangan bebas internasional. Artinya bagi negara-negara besar, akan mendapatkan pasar yang luas. Sementara negara berkembang akan tetap terpuruk tidak mampu bersaing.
Konsekuensi kekalahan tersebut, ayam broiler Negeri Samba itu masuk Indonesia dengan leluasa. Padahal ketercukupan stok ayam broiler dalam negeri sudah mencukupi. Di samping itu, pemerintah melakukan revisi aturan perdagangan dan impornya melalui Permentan No. 23 Tahun 2018.
Derasnya arus impor akan berimbas kepada matinya pengusaha dan industri lokal. Dari segi harganya yang jelas lebih terjangkau hingga kebijakan pemerintah dalam menangani produk lokal.
Harga ayam broiler impor bisa mencapai Rp14.000,- per kg. Sedangkan harga daging ayam lokal masih dalam kisaran Rp30 ribu hinga Rp40 ribu per kg. Sementara itu dari sisi pemeliharaannya. Faktor pangan menentukan 60-70 persen hasil ayam lokal. Padahal jagung menjadi faktor utama pangannya yang masih mahal harganya di pasaran. Berbeda dengan ayam impor Brasil yang didukung oleh corn estate.
Konsekwensi selanjutnya, untuk menutup biaya produksi, peternak mengambil jalan menjual ayam-ayamnya dengan membanting harga. Dengan kata lain, usaha peternakan dalam negeri terancam gulung tikar.
Di tingkat pasaran, pengusaha akan lebih tertarik untuk mengambil ayam impor. Tentunya dari segi ekonomi akan lebih menguntungkan. Jadi tidak mengherankan bila produk impor membanjiri pasar-pasar dalam negeri.
Selanjutnya akan timbul pertanyaan, Di manakah seruan Cinta produk dalam negeri? Apakah negeri ini masih mempunyai kedaulatan?
Demikianlah perdagangan bebas sebagai konsekuensi dari penerapan Demokrasi. Sistem Demokrasi yang menempatkan kebebasan sebagai pilarnya telah menjadikan manusia menjadi tuan bagi dirinya. Kekuatan kebebasan akan terwujud dalam suara mayoritas.
Oleh karena itu, perdagangan bebas yang diinisiasi oleh negara-negara besar akan memiliki daya dukung dan daya tekan dalam pergaulan internasional. Mereka akan terus bekerja untuk mencari pangsa pasar dunia yang lebih luas. Padahal yang terjadi adalah penjajahan ekonomi atas nama perdagangan internasional.
Maka menjadi urgen guna merumuskan pijakan kebijakan yang stabil dalam perdagangan internasional. Kebijakan yang stabil tatkala perdagangan internasional berasaskan kepada pedagangnya bukan komoditasnya. Perdagangan internasional bila berbasis komoditas akan mengakibatkan membanjirnya impor tatkala produk lokal sudah terpenuhi.