Mr Kasman Singodimedjo dan Pencoretan Tujuh Kata Piagam Jakarta
Menurut Mr. Kasman, perubahan dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, adalah perubahan yang sangat penting sekali. Ia bahkan menyebut, perubahan itu sungguh-sungguh dianggap sebagai karunia dan nikmat Allah yang harus disyukuri oleh semua orang, terutama umat Islam.
Kasman beralasan, karena “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang kini secara geruisloos menjadi Filsafat Negara kita itu, lanjut Mr. Kasman, tidak mengenal Ke-Tuhanan sembarang ketuhanan seperti barang sakti, patung, berhala, kuburan keramat, guru kebatinan, guru klenik, buatan manusia yang dianggap ampuh atau sakti, pelajaran kebatinan atau klenik, dogma, teka teki gaib, perhitungan-perhitungan spekulatif, intelektualisme, diletantisme dan lain sebagainya: bukan! Sekali lagi bukan ketuhanan-sembarang-ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila itu ialah Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa.
Demikianlah cerita Mr. Kasman Singodimedjo, sang pelaku sejarah seputar “jepitan” yang dialami tokoh-tokoh Islam ketika itu saat harus mengorbankan aspirasi mereka dan keselamatan negara yang mereka cintai.
Para tokoh Islam itu sangat mencintai bangsa ini, dan pada saat yang sama, mereka meyakini benar kebenaran agama yang mereka peluk sehingga mereka juga senantiasa berusaha memperjuangkannya ketika kesempatan itu terbuka kembali. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi andaikan para tokoh Islam ketika itu bertahan dengan sikapnya untuk mempertahankan Piagam Jakarta secara utuh!
Adian Husaini, dalam bukunya “Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam”, mengutip pernyataan salah satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mantan Menteri Agama RI, KH. Saifuddin Zuhri.
“Apakah ini bukan suatu toleransi terbesar dari umat Islam Indonesia? Jika pada tanggal 18 Agustus 1945 yaitu tatkala UUD 1945 disahkan umat Islam “ngotot” mempertahankan tujuh kata-kata dalam Piagam Jakarta, barangkali sejarah akan menjadi lain. Tetapi segalanya telah terjadi. Ummat Islam banya mengharapkan prospek-prospek di masa depan, semoga segalanya akan menjadi hikmah,” kata Kiai Saifuddin Zuhri.
Menurut Adian, demi keutuhan NKRI, para ulama menerima kesepakatan baru. Itu membuktikan kebesaran jiwa para ulama dan tokoh Islam dalam menyikapi persatuan dan kesatuan bangsa. Meskipun kecewa dengan peristiwa 18 Agustus 1945, ulama-ulama Islam tetap bertaruh jiwa-raga dalam mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keutuhan NKRI. Wallahu a’lam.
M. Shodiq Ramadhan, Redaktur Pelaksana Suara Islam Online.