FIQH NISA

Muslimah, Wajibkah Bercadar? (Bag-2)

“Apabila kalian hendak meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi Saw).” (TQS al-Ahzâb [33]: 53)

Kata ganti (dhamîr) ayat di atas (hunna – mereka) mengacu pada para istri-istri Rasul Saw. Kata ganti itu menunjuk mereka secara spesifik, bukan yang lain. Ayat tersebut langsung diikuti dengan firman-Nya: “Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah.” (TQS al-Ahzâb [33]: 53)

Hal itu mengisyaratkan adanya illat (sebab) hijab mereka (istri-istri Rasul Saw). Semua itu menentukan bahwa kedua ayat hijab tersebut merupakan nash yang datang khusus bagi istri-istri Rasul Saw. Dengan demikian, kaidah al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (Ibrah itu sesuai dengan keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab), tidak dapat diterapkan di sini.

Demikian pula tidak bisa dikatakan di sini bahwa seruan kepada istri-istri Rasul juga merupakan seruan bagi para wanita muslimah lainnya. Sebab, kaedah “seruan kepada individu tertentu juga merupakan seruan kepada seluruh kaum Mukmin”, hanya khusus untuk seruan kepada Rasulullah Muhammad Saw. Kaedah tersebut tidak mencakup seruan kepada istri-istri beliau. Jadi, seruan kepada Rasulullah Saw juga merupakan seruan kepada kaum mukmin seluruhnya. Sedangkan seruan kepada istri-istri Nabi Saw adalah khusus untuk mereka saja. Sebab, Rasulullah Saw merupakan sosok yang wajib dijadikan teladan dalam setiap ucapan, perbuatan, ataupun diam persetujuan beliau, selama tidak termasuk kekhususan bagi beliau.

Sedangkan istri-istri Rasul Saw bukan obyek yang wajib dijadikan teladan. Karena Allah SWT telah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi kalian.” (TQS al-Ahzâb [33]: 21)

Istri-istri Rasul Saw tidak boleh dijadikan teladan yang wajib diikuti. Dalam arti melakukan suatu perbuatan dikarenakan mereka melakukannya, atau menghiasi diri dengan satu sifat dikarenakan mereka menghiasi diri dengan sifat tersebut. Akan tetapi peneladanan itu hanya khusus terhadap Rasul Saw karena beliau tidak mengikuti melainkan hanya wahyu.

Begitu juga tidak bisa dikatakan bahwa, jika istri-istri Rasulullah Saw yang terjaga kesuciannya dan di rumah-rumah mereka dibacakan wahyu, mereka saja dituntut mengenakan hijab, maka wanita-wanita muslimah selain mereka lebih utama lagi dituntut mengenakan hijab. Pendapat semacam ini tidak dapat diterima karena dua alasan:

Pertama, masalahnya bukan masalah sesuatu yang lebih utama. Sebab, persoalan sesuatu yang lebih utama (min bâb al-awlâ) adalah bahwa Allah SWT melarang sesuatu yang kecil, maka larangan terhadap sesuatu yang lebih besar tentu lebih utama lagi. Seperti firman Allah SWT: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya, perkataan “Ah!” (TQS al-Isrâ’ [17]: 23)

Maka jika mengucapkan perkataan “Ah!” saja dilarang, tentu lebih utama lagi untuk tidak memukul keduanya. Sesuatu yang lebih utama itu juga bisa dipahami dari konteks pembicaraan, seperti firman Allah SWT: “Di antara Ahlul Kitab, ada orang yang jika mempercayakan kepadanya harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu. Dan diantara mereka ada orang yang jika kamu mmpercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu.” (TQS Ali ‘Imrân [3]: 75)

Dalam konteks yang pertama, mengembalikan harta yang lebih banyak lagi tentu lebih dia utamakan; sementara dalam konteks yang kedua, ia tentu tidak akan mengembalikan harta yang lebih dari satu dinar. Ayat tentang kawajiban mengenakan hijab tidak termasuk dalam konteks min bâb al-ûlâ (sesuatu yang lebih utama) ini. Karena konteks pembicaraan pada ayat tersebut hanya ditujukan kepada istri-istri

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button