FIQH NISA

Muslimah, Wajibkah Bercadar? (Bag-2)

Nabi Saw dan tidak menunjukkan pengertian yang lain. Kata nisâ an-Nabî (istri-istri Nabi Saw) bukanlah sifat yang bisa diambil mafhumnya (washfan mufahhaman) sehingga tidak dapat Tarik pemahaman bahwa selain istri-istri Nabi Saw adalah lebih utama (untuk mengenakan hijab, pen). Sebaliknya, kata tersebut merupakan ism jâmid sehingga tidak bisa memiliki mafhum (pengertian) lain. Jadi pembicaraan ayat tersebut adalah khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nash, tidak melebar kepada sesuatu yang lain dan tidak memiliki pemahaman yang lain. Di dalam ayat tersebut juga tidak terdapat masalah min bâb al-ûlâ (sesuatu yang lebih utama) sama sekali, baik ditinjau dari lafazh maupun konteksnya.

Baca juga: Muslimah, Wajibkah Bercadar? (Bag-1)

Kedua, kedua ayat tersebut merupakan perintah yang ditujukan secara khusus kepada individu-individu tertentu yang telah disebutkan sosoknya dan disifati dengan sifat-sifat tertentu. Sehingga perintah tersebut bukanlah perintah bagi siapa pun selain mereka, baik orang yang derajatnya lebih tinggi atau pun yang lebih rendah daripada mereka. Sebab, perintah tersebut telah disifati dengan sifat-sifat yang spesifik dan itu yang dikhususkan bagi orang-orang tertentu pula. Jadi, perintah dalam kedua ayat tersebut merupakan perintah bagi istri-istri Rasul Saw dalam kapasitas mereka sebagai istri-istri Rasul Saw, karena mereka tidak sama dengan wanita yang lain. Selain itu, interaksi para sahabat dengan istri-istri Rasul Saw tanpa ada hijab akan mengganggu Rasul Saw.

Dari semua paparan sebelumnya, sudah dibuktikan bahwa kaidah al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (Ibrah itu bergantung kepada keumuman lafazh dan tidak bergantung kepada kekhususan sebab) tidak bisa diterapkan dan tidak relevan dengan topik ini. Juga sudah dibuktikan tidak adanya kewajiban untuk meneladani istri-istri Rasul Saw. Disamping telah dinafikannya keberadaan wanita-wanita muslimah selain istri-istri Rasul Saw lebih utama untuk mengenakan hijab. Dan sebaliknya sudah dibuktikan bahwa nash hijab di atas secara qath’i adalah untuk istri-istri Rasul Saw. Juga sudah dibuktikan bahwa kedua ayat di atas adalah khusus hanya berkenaan dengan istri-istri Rasul Saw saja, dan secara mutlak tidak mencakup wanita-wanita muslimah yang lain, dilihat dari sisi manapun.

Dengan semua itu, maka terbukti bahwa kewajiban mengenakan hijab adalah khusus untuk istri-istri Rasul Saw. Begitu pula perintah untuk tetap tinggal di rumah, juga khusus untuk istri-istri Rasul Saw. Juga terbukti bahwa kedua ayat di atas tidak bisa dijadikan dalil bahwa hijab (mengenakan cadar) telah disyariatkan untuk wanita-wanita muslimah. [BERSAMBUNG KE BAG-3]

Sumber: Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, Nizamul Ijtimai fil Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam, 2007).

Laman sebelumnya 1 2 3 4

Artikel Terkait

Back to top button