SUARA PEMBACA

Nama Jalan Tak Sekadar Kenangan

Syamsul menegaskan bahwa pemberian nama Ataturk sebagai nama jalan di Indonesia harus dilihat dalam skala yang lebih luas, yakni sebagai tanda jalinan persahabatan antara Indonesia dan Turki. Baginya, persahabatan antara dua negara itu harus terus terjalin dengan baik ke depannya.

“Pada dasarnya PWNU DKI melihat itu bagian dari penghargaan antarnegara harus kita lakukan. Bukan setuju dan tidak setuju”. Di sisi lain, Syamsul menyatakan persoalan tokoh tersebut memiliki ideologi atau pandangan yang berbeda dengan umat Islam di Indonesia merupakan urusan yang lain. Ia lantas membandingkan dengan nama Presiden pertama RI, Sukarno yang sudah menjadi nama jalan di banyak negara.

Tolak Jalan Attaturk, Ingat Jejak Khilafah Turki di Nusantara

Beragamnya pendapat membuktikan beragamnya pemikiran terhadap sesuatu, memang hal ini tidak terlarang, wajar, namun perlu diingat, apapun yang kita kerjakan adalah bagian dari amal ibadah, sehingga sebagai Muslim wajib menyelaraskan amal ibadah itu dengan hukum syariat, atau aturan apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan. Dimana aturan itu berasal dari Allah SWT, zat yang Maha Mengatur dan Maha Bijaksana.

Mengingat kembali penamaan sebuah jalan bukanlah sekadar berdasar kenangan, tapi lebih kepada edukasi kepada generasi selanjutnya tentang riwayat tokoh yang namanya dijadikan nama sebuah jalan. Agar masyarakat khususnya generasi mengenang kebaikan bahkan menjadikannya sebagai teladan. Sebab teladan adalah cara terbaik dalam sebuah pendidikan. Sebuah bangsa yang besar tentulah yang menghargai jasa para pahlawannya dan menjadikannya sebagai tambahan tsaqofah serta hikmah agar ke depannya lebih baik.

Jika alasannya hanya sebagai bagian dari Kerjasama Indonesia Turki, maka lebih ironi lagi. Mengapa dipilih nama Ataturk tokoh sekuler yang dibenci umat Islam turki dan indonesia? Apakah upaya Mustafa Kemal yang menghancurkan junnah (perisai) Umat Muslim dan menggantinya dengan bentuk negara berikut sistemnya yang batil adalah sebuah kebaikan? Itu aib, sekaligus pengundang azab Allah, sebab, dengan upaya Ataturk itulah Islam tak lagi menjadi satu-satunya yang dipeluk Kaum Muslim.

Islam kini hanya agama pengatur ibadah ritual semata, tak bergigi di pengadilan, tak mensejahterakan sebab sistem ekonominya dianggap merugikan para kapitalis, tak menjadi acuan kurikulum pendidikan sehingga generasi muda Muslim dihinggapi pemikiran Sepilis (Sekuler Pluralis Liberalis). Generasi yang tak lagi bergetar nuraninya ketika saudaranya di India, Xinjiang, Burma, Palestina, Suriah dan lain-lain dibantai tanpa kesalahan, hanya karena mereka Muslim.

Bayangkan pendapat salah satu tokoh NU diatas yang justru mengatakan lebay kepada mereka yang menyatakan penolakannya. Mungkin memang remeh remeh, hanya menolak penamaan, namun ketika faktanya kita tak berkuasa menentukan nama siapa yang akan dijadikan nama jalan, membuktikan betapa lemah kedaulatan kita di mata negara lain. Turki kini bukan manifestasi dari kaum Muslim, iapun sekular sebagainya negara-negara Muslim di dunia. Sebab para pemimpinnya enggan secara terang-terangan menerapkan syariat dan berkawan dekat dengan negara kafir yang jelas-jelas tak segan menumpahkan darah kaum Muslim demi lancarnya kepentingan mereka.

Semestinya yang kita harus terus gaungkan adalah  kontribusi pemimpin Turki di Indonesia, selain Musthafa Kemal Attaturk.  Yang mana hal ini seharusnya diketahui, oleh masyarakat luas dari generasi ke generasi, sebagaimana jelas terekam lengkap dalam jejak khilafah Turki Utsmani di Nusantara. Bagaimana sejak dari kesultanan Aceh Samudra Pasai hingga kerajaan Islam di Rote dan Ternate meminta perlindungan dari kekhilafahan Turki Utsmani. Mereka semua menyatakan tunduk dan ingin diatur syariat yang menjadi qanun dasar kekhilafahan. Bukti-bukti untuk itu bertebaran. Lantas mengapa kita kini berusaha menghilangkannya? Wallahu a’lam bish showab.

Rut Sri Wahyuningsih, Institut Literasi dan Peradaban.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button