RESONANSI

Partai Islam Bisa Menang?

Dari 16 partai nasional itu, tiga partai berasas Islam (PKS, PPP dan PBB) dan dua partai berbasis massa Islam (PAN dan PKB), meraup suara 30,05 persen (42.059.378 suara).

Karena pada Pemilu 2019 untuk DPR diterapkan aturan ambang batas (PT) perolehan suara empat persen, maka dari lima partai itu, yang lolos ke Senayan hanya empat partai, yakni PKB dengan 58 kursi, PKS dengan 50 kursi, PAN dengan 44 kursi dan PPP dengan 19 kursi. Total partai Islam dan berbasis massa Islam itu mendapatkan 171 kursi dari total 575 kursi di DPR (30,05%).

Dibandingkan dengan hasil Pemilu 1955, nampak jelas ada penurunan perolehan persentase suara partai Islam yang cukup signifikan. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan penurunan perolehan persentase suara parpol Islam itu?.

“Ada dua sebab, eksternal dan internal,” kata Habib Muhammad Rizieq Syihab kepada Suara Islam dalam suatu kesempatan.

Faktor eksternal adalah adanya propaganda Liberal yang dilakukan sejak zaman Hindia Belanda hingga saat ini melalui racun sekulerisme. Setidaknya, kata Habib Rizieq ada tiga ungkapan batil yang ditanamkan kepada umat.

Pertama, meracuni umat Islam dengan pemahaman bahwa Islam agama yang suci dan mulia lagi bersih, sedang politik penuh intrik dan licik serta kotor. Karenanya, jangan bawa agama Islam yang bersih itu ke dalam dunia politik yang kotor. “Kalimat ini bukan untuk memuji kesucian Islam, tapi untuk menjauhkan Islam dari dunia politik,” ungkapnya.

Kedua, meracuni umat Islam dengan pemikiran bahwa hukum Islam itu baik, dulu di zaman Nabi Saw sukses diterapkan karena masyarakat Sahabat adalah umat terbaik. Karenanya, jika ingin sukses penerapan syariat Islam saat ini, maka umatnya harus baik dulu. Penerapan syariat Islam akan menjadi beban yang sangat berat sekali bagi umat Islam yang belum menjadi generasi umat yang baik. Oleh sebab itu, jangan dulu memformalisasikan syariat Islam di Indonesia, karena faktanya umat Islam Indonesia belum menjadi generasi yang baik sebagaimana di zaman Sahabat, tapi cukup dakwah perbaikan moral saja untuk menjadikan mereka sebagai umat yang baik dulu.

“Kalimat ini bukan untuk memuji hukum Islam dan kebaikan generasi sahabat, tapi untuk menghentikan perjuangan formalisasi syariat Islam dengan dalih perbaikan moral,” ungkapnya.

Ketiga, pada praktiknya ternyata partai-partai sekuler yang anti syariat Islam, sejak dulu hingga kini, justru tidak kalah getol “jualan Islam” untuk menarik minat umat Islam. Merekalah yang selama ini mempolitisasi agama dengan menggaet para kai, tokoh Islam dan bahkan membentuk ormas Islam sebagai “underbow” partai. Secara terstruktur mereka juga membuat majelis taklim dan tabligh politik. Inilah yang kemudian menipu umat Islam, sehingga mereka berpandangan partai sekuler itu “Islami” juga. Ujungnya, umat Islam tidak akan memiliki beban apa pun untuk meninggalkan partai Islam. Bahkan di antara mereka ada yang merasa “berpahala” memenangkan partai sekuler karena dianggap sangat “Islami”. Itulah sebabnya, partai sekuler selalu menang, dan akhirnya menjadi penghalang penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara.

Sebab internal adalah adanya perpecahan di tubuh partai Islam. Masyumi misalnya, mengalami perpecahan ketika NU mendeklarasikan diri sebagai partai politik pada 1 Mei 1952/6 Sya’ban 1371 di Palembang, Sumatera Selatan. Ini merupakan perpecahan kedua setelah pada 1949, Syarikat Islam juga keluar dari Masyumi. Padahal sebelumnya, secara bersama-sama, para ulama dari Persyarikatan Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), NU, Matlaul Anwar, Persatuan Umat Islam (PUI), Al Wasliyah dan Syarikat Islam telah duduk bersama dalam Partai Masyumi sejak didirikan pada 7 November 1945 di Yogyakarta. Bahkan Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari duduk sebagai Ketua Umum Majelis Syuro.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button