OPINI

Penyatuan Politik Umat Islam Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan (Bagian 2)

Pemilik saham terbesar NKRI adalah ormas Islam yang sedari sebelum kemerdekaan sudah menghimpun dan mengorganisir kekuatan umat demi cita-cita kemerdekaan sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Fakta ini diperkuat dengan strategi penjajah Jepang yang harus menggunakan jaringan ormas-ormas Islam ketika membutuhkan tenaga perang untuk perang Asia Timur melalui Majlis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) yang dibentuk Jepang setelah menyadari pembubaran MIAI justru menyulitkan Jepang dalam mengkoodinasikan kekuatan umat Islam Indonesia.

Dari fakta diatas seharusnya ormas Islamlah yang paling berhak untuk menentukan cetak biru dari wajah perpolitikan umat Islam Indonesia karena besarnya saham yang mereka miliki. Ormas Islam seharusnya secara terang-terangan membuat partai politik sebagai alat untuk mempercepat capaian tujuan organisasi yang sudah terlalu lama mereka dirikan sebelum kemerdekaan. Lapangan perjuangan politik bagi ormas Islam selayaknya seperti lapangan-lapangan perjuangan lainnya yang biasa mereka garap, baik itu lapangan perjuangan ekonomi, perjuangan pendidikan, perjuangan budaya dan lapangan perjuangan lainnya.

Tidak ada yang istimewa dari lapangan perjuangan politik bagi ormas Islam yang menjadikan Dakwah Islam sebagai panglimanya. Sudah seharusnya ormas Islam mencetak kader-kader politisi yang merepresentasikan wajah para negarawan sebagai sumbangsih terbaik bagi negeri ini. Bagi ormas Islam yang belum mampu, dapat membuat kesepakatan dengan partai politik Islam yang ada dengan balasan menyalurkan aspirasi politik pada saat pemilu.

Kekhawatiran akan adanya keterbatasan lapangan dakwah dan khawatir dicemari dengan intrik-intrik politik yang merusak internal ormas Islam merupakan momok yang dibangun dari narasi ajaran sekuler yang menjadikan urusan politik dan agama sebagai entitas yang saling berhadap hadapan. Jika kita berkaca dengan apa yang dilakukan oleh Rasululla Saw dan para sahabat, maka tidak pernah ada dikotomi antara dakwah dan politik baik high politics maupun politik praktis.

Baca juga: Persatuan Politik Umat Islam Indonesia: Antara Harapan dan Kenyataan (Bagian 1)

Rasulullah Saw dan para sahabat sekaligus mengurusi seluruh paket dimensi kehidupan dengan dakwah sebagai panglimanya. Urusan politik hanyalah sub bagian dari dakwah untuk memudahkan pekerjaan dakwah itu sendiri. Rasulullah Saw menunjuk dan menyeleksi siapa penguasa yang akan ditugaskan di wilayah penaklukan dakwah sekaligus mengatur strategi agar proses penugasan tersebut lancar demi keberlangsungan dakwah Islam, begitupula yang dicontohkan para sahabat khulafaur rasyidin sepeninggal Rasulullah Saw.

Dampak dari keengganan ormas Islam tersebut adalah asumsi yang berkembang di masyarakat seolah-olah politik itu sesuatu yang kotor, rendah dan penuh intrik yang berbeda dengan ormas Islam yang berisi orang-orang suci, alim dan bijak. Ada pula muncul aturan di ormas Islam tentang larangan rangkap jabatan para pengurus ormas Islam sebagai pengurus Partai Politik.

Larangan ini menyiratkan bahwa lapangan perjuangan politik itu bisa menganggu kerja -kerja pengurus di ormas Islam, tetapi anehnya belum ada larangan bagi pengurus ormas Islam untuk tidak boleh rangkap jabatan sebagai pedagang atau pengusaha, padahal profesi pedagang dan pengusaha lebih menyita waktu dan bisa menganggu kerja harian para pengurus di ormas Islam. Begitu dahsyat propaganda pemikiran yang menjadikan lapangan perjuangan politik sebagai lapangan perjuangan yang sangat ditakuti dan diasumsikan menjadi sumber masalah.

Padahal yang menjadi sumber masalah adalah prilaku politik menyimpang yang mungkin pernah dilakukan segelintir para politisi yang diklaim Islami sehingga berimbas pada citra lapangan perjuangan politik. Ibarat pepatah mengatakan “Kalau kamu tak pandai menari, jangan lantai kamu bilang terjungkat”, sama juga dengan menyalahkan lapangan perjuangan politik sebagai sesuatu yang jelek dan harus dihindari padahal yang bermasalah adalah kualitas politisinya yang tidak pernah secara serius dikader oleh ormas-ormas Islam.

Sebagai konsekuensinya, kerapkali partai politik Islam lebih banyak diisi oleh sumber daya manusia yang tidak terikat secara emosional dengan kerja kerja keumatan yang biasanya dilakukan oleh ormas Islam. Kalaupun ada kader ormas Islam yang dititipkan di partai politik Islam biasanya kader tersebut akan tenggelam dengan dinamika kekuasaan di dalam tubuh partai politik tersebut. Perjuangan politik Islam yang diamanahkan untuk diemban sebagai misi utama seringkali harus berhadapan dengan tembok realitas politik pragmatis.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button