Persahabatan 47 Tahun
Oleh: Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Sejak kembali dari Mekkah yang pertama 1927, setelah singgah di Medan beberapa bulan, sayapun kembali ke kampung. April 1929 saya kawin, setelah itu saya menetap di kota kecil Padang Panjang, menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Padang Panjang dan mendirikan Tabligh School.
Di waktu itulah saya membaca sebuah majalah yang diterbitkan di Bandung bernama Pembela Islam.
Mulai saja majalah itu dibaca, timbullah dalam jiwa semangat terpendam, yaitu semangat hendak turut berjuang dalam Islam. Artikel-artikel yang dimuat di dalamnya menggugah perasaan hati buat bangun, buat percaya kepada tenaga sendiri sebagai Muslim untuk bangun, bergerak, berjuang, hidup ataupun mati di dalam perjuangan Islam.
Yaitu Islam yang tidak pakai ‘dan’.
Apakah maksudnya Islam yang tidak pakai ‘dan’?
Ketika itu sedang riuh rendahnya bangkit Gerakan Kebangsaan yang dipimpin oleh Ir Soekarno sendiri.
Bergeloranya semangat kebangsaaan yang dikobar-kobarkan oleh Ir Soekarno ini menyebabkan –dengan sendirinya- bagi orang yang telah sangat termakan ajaran ini, tidak ada yang lebih tinggi daripada nasionalisme atau kebangsaan.
Dan menjalarlah semangat itu kemana-mana di seluruh tanah air Indonesia. Bahkan dari sangat hebat dan ahlinya Bung Karno, mulailah banyak orang memandang bahwa agama tidaklah ada sangkut pautnya dengan kebangsaan. Bahkan kian terasa waktu itu bahwa peranan agama tidak begitu penting dalam membangkitkan semangat kebangsaan. Dan bertambah suburlah antipasti terhadap kebangkitan di Indonesia yang dipimpin selama ini oleh HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim. Sampai ada tuduhan bawa Haji Agus Salim itu spion Belanda.
Dalam satu rapat propaganda Partai Nasional Indonesia pernah seorang turut bicara. Dia mulai pembicaraan dengan mengucapkan ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh’. Karena dia memulai bicara dengan ucapan salam secara Islam itu, maka seluruh hadirin telah meledek pembicara itu. Sehingga kian hari kian jelas bahwa Islam mulai diketepikan dalam pergolakan di Indonesia.
Aksi yang bercorak seperti ini menjalar ke seluruh tanah air. Maka di waktu itu pula orang-orang yang kuat ghirah Islaminya sadar, bahwa gerak seperti ini tidak dapat dibiarkan. Islam tidaklah musuh dari nasionalisme, asal saja nasionalisme itu tidak membangkitkan chauvinism. Dan berjuang untuk kemerdekaan suatu bangsa dari penjajahan bangsa lain, adalah suatu perjuangan suci luhur menurut ajaran Islam.