Poliandri, Musibah Besar bagi Generasi
Dunia sudah kian menua. Hingga fenomena yang terjadi di dalamnya semakin hari semakin aneh saja. Baru-baru ini muncul trend baru yang diungkap oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahjo Kumolo, terjadi di kalangan ASN. Poliandri, yaitu sebuah keadaan dimana seorang perempuan memiliki lebih dari satu suami.
Tjahjo Kumolo menyebut, dirinya pernah memutuskan perkara ASN wanita yang punya suami lebih dari satu. Bahkan pihaknya dalam setahun ini telah menerima lima laporan poliandri yang dilakukan ASN (republika.co.id, 29 Agustus 2020).
Hal ini tentu saja mengundang sebuah keprihatinan. Beberapa kalangan bahkan meminta agar para ASN yang melakukan praktik poliandri untuk ditindak tegas. Seperti yang disampaikan oleh Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus.
“Fenomena poliandri di kalangan ASN ini jelas akan merendahkan harkat dan martabat ASN itu sendiri. Harus dihukum berat berupa diberhentikan sebagai ASN dan kalau ada unsur pidana diproses sesuai hukum yang berlaku,” kata Guspardi dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (1/9).
Penyebab dan Dampak Poliandri
Menurut Misran dan Muza Agustina dalam “Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam” vol 1 ni 1 Januari-Juni 2017 menyebutkan, setidaknya ada tujuh hal yang menjadi penyebab munculnya praktik poliandri. Yaitu, aspek ekonomi, jarak dengan suami jauh, tidak terpenuhinya nafkah lahir batin, usia suami yang sudah lanjut, tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga, kurangnya iman dan lemahnya pemahaman agama sebagai control sosial.
Bila ditelaah, bisa jadi hal-hal yang disebutkan tadi memang benar. Namun lebih jauh lagi, maka dengan memperhatikan kondisi yang ada di masyarakat, akan ditemukan bahwa akar paradigma sekuler yang memenuhi benak masyarakatlah yang menjadi biang dari penyelewengan ikatan pernikahan ini.
Sekulerisme yang telah melahirkan pandangan pemisahan agama dari kehidupan, telah menafikan peran Tuhan dalam mengatur kehidupan manusia. Akibatnya, manusia menciptakan sendiri aturan yang mengatur interaksi sosialnya sehari-hari. Sehingga standar kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan diletakkan di tangan manusia.
Dalam pandangan sekuler, manfaat atau materi menjadi tolak ukur segalanya. Seseorang menganggap baik, jika ia memiliki materi berlimpah. Begitupun seseorang dipandang bahagia jika mampu mendapatkan materi dan kenikmatan jasmani sebanyak-banyaknya.
Inilah yang kemudian mendorong banyak orang untuk melakukan perbuatan-perbuatan nyeleneh dalam rangka memuaskan diri untuk mendapatkan kebahagiaan, termasuk ber-poliandri. Perbuatan ini jelas melanggar norma yang ada di masyarakat, peraturan pemerintah, apalagi sudah bisa dipastikan tak akan mendapat restu dari aturan agama.
Selain itu, praktik berbagi istri tersebut juga akan mendatangkan mudhorot yang luar biasa besar di tengah masyarakat, terutama untuk generasi. Praktik poliandri akan menyebabkan kerusakan jalur nasab dari anak-anak yang dilahirkan. Sebab sang anak tidak jelas siapa bapaknya.
Hal ini kemudian membuat hukum-hukum turunan ikut rusak, seperti hukum waris, hukum perwalian dan hukum nafkah. Bila ini dibiarkan, maka akan menimbulkan dampak lebih besar lagi, seperti kemungkinan terjadinya pernikahan senasab. Akibatnya generasi yang dilahirkan dari keluarga semacam ini terancam cacat baik secara fisik maupun mental. Bukankah ini sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa?
Poliandri juga menyebabkan keluarga-keluarga yang dibangun rentan mengalami kegagalan, perselingkuhan hingga perceraian. Ikatan pernikahan yang suci ternodai dengan praktek menyimpang semacam ini.
Jelas sudah, bahwa pandangan sekulerlah yang telah menyebabkan terjadinya perilaku menyimpang termasuk poliandri. Pandangan ini bisa terus subur dianut oleh masyarakat karena ada sistem hidup yang kemudian diterapkan oleh negara, yaitu kapitalisme. Berbagai paham kebebasan termasuk kebebasan perilaku, adalah buah dari sistem kapitalisme. Sistem rusak ini telah melahirkan keluarga-keluarga rapuh sebab cacatnya pandangan dasarnya terhadap kehidupan.
Pandangan Islam
Berbeda dengan itu, Islam memiliki pandangan bahwa manusia hidup di dunia adalah untuk menjalankan titah yang Allah telah turunkan melalui risalah yang dibawa RasulNya, Muhammad Saw. Manusia diperintahkan untuk memahami ayat-ayatNya sehingga mengerti bagaimana menjalankan seluruh perbuatannya di dunia berdasarkan syariat Allah SWT.
Dalam Islam standar kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan dikembalikan lagi kepada Allah sebagai pencipta kehidupan. Dengan begitu, tak akan ada kerancuan dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, seperti bila hal itu diserahkan kepada manusia.
Karena itu menurut Islam, seorang muslim akan menilai baik dan merasakan kebahagiaan bila perbuatannya itu diridhai Allah. Sebaliknya bila Allah murka karena perbuatan hamba, maka hal itu dinilai buruk dan membawa kesengsaraan.
Tentang pernikahan, Allah telah mengharamkan poliandri. Berdasarkan dalil yang ada dalam Al Qur’an bahwa Allah berfirman:
“Dan (diharamkan juga atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” (TQS. An Nisa (4) :24).
Adapun dalil Sunnah, bahwa Nabi Saw telah bersabda,
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya.” (HR. Ahmad).
Diharamkannya poliandri adalah sebagai bentuk penjagaan Islam terhadap garis keturunan. Dengan begitu generasi yang terlahir dalam setiap keluarga akan memiliki kejelasan nasab sehingga berlaku hukum-hukum yang berkaitan dengannya. Penjagaan ini akan menjamin pelestarian jenis manusia berlangsung sesuai fitrah manusia.
Untuk Itu, Islam juga menetapkan bahwa negara perlu memastikan bahwa setiap individu masyarakat memahami hukum-hukum Islam terkait pembentukan keluarga, melalui berbagai mekanisme seperti melakukan pembinaan di tengah umat baik pengokohan aqidah serta berbagai syariat Islam yang harus dijalankan. Dengan begitu setiap suami dan istri mengerti hak dan kewajiban yang harus mereka tunaikan masing-masing, serta menjadikan halal haram sebagai timbangan dalam berbuat.
Negara juga wajib memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan hak dasar umat. Dengan begitu keluarga-keluarga akan bisa hidup tenang tanpa merasa khawatir akan pemenuhan keduanya. Para ibu tak harus ikut keluar rumah untuk membantu mencari nafkah bagi keluarganya, sehingga perannya sebagai ibu pendidik generasi akan optimal dilakukan. Hal ini juga untuk mencegah terjadinya pertemuan perempuan dan pria yang bukan mahromnya di tempat kerja, yang memungkinkan adanya interaksi yang tidak dibenarkan dalam Islam.
Negara juga harus menerapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan interaksi sosial masyarakat, seperti melarang terjadinya ikhtilat, mewajibkan perempuan muslimah memakai hijab ketika di luar rumah, larangan tabbaruj dan lain-lain sebagai bentuk penjagaan dari kemungkinan munculnya pandangan jinsi yang mengarah pada perilaku yang melanggar syariat. Semua itu diwujudkan dalam bentuk sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum-hukum tersebut.
Apabila kemudian di tengah masyarakat terjadi pelanggaran terhadap aturan Islam, maka negara wajib memberikan sanksi tegas. Penegakan sanksi ini bukan hanya untuk memberikan hukuman bagi pelakunya, namun juga sebagai penebus dosa dan penjagaan terhadap agama dan kehormatan warga negara Islam.
Demikianlah Islam memberikan solusi menyeluruh terhadap berbagai persoalan manusia, termasuk fenomena poliandri yang belakangan ini menyeruak faktanya di masyarakat. Islam memberikan penjagaan penuh terhadap generasi Islam yang kelak akan menjadi penerus peradaban dan mewujudkan khoiru ummah sebagaimana yang telah Allah gariskan dalam Al-Qur’an. Dengan Islam akan lahir keluarga-keluarga yang kuat dan kokoh bagi lahir dan tumbuhnya generasi berkualitas. Wallahu a’lam bisshawab.
Dwi Indah Lestari, S.TP
(Pemerhati Persoalan Publik)