Prolegnas Prioritas RUU 2021: Antara Harapan dan Ancaman bagi Kepentingan Umat Islam
Keempat, Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga merupakan sebuah terobosan yang sangat perlu kita beri apresiasi kepada pengusul yaitu PKS, PAN, PPP dan Gerindra, tetapi nampaknya RUU ini akan sulit masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 karena ditolak oleh PDIP, Golkar, Nasdem, Demokrat dan PKB. RUU Ketahanan keluarga memberi harapan bagi rakyat Indonesia untuk menjadikan keluarga sebagai basis pertahanan bangsa Indonesia terutama dari segi moral dan masa depan anak-anak bangsa.
RUU ini memberikan kepastian kepada kita, bahwa segala penyimpangan seksual harus diluruskan untuk keharmonisan keluarga dan masyarakat. Negara wajib untuk memberikan edukasi dan pencegahan kepada rakyat Indonesia untuk tidak terjerumus dalam suasana atau kecenderungan penyimpangan seksual yang berakibat buruk bagi generasi masa depan bangsa.
RUU ini juga memberikan perlindungan kepada ibu/istri untuk diperlakukan secara baik dan dinafkahi secara lahir dan bathin. Negara dapat memaksa seorang ayah untuk menunaikan kewajibannya untuk menafkahi anaknya (Pasal 82 RUU Ketahanan Keluarga) melalui apa yang disebut dengan Badan Ketahanan Keluarga, sehingga nampaknya dapat memperkecil adanya kebiasaan “kawin-cerai” yang meninggalkan tanggung jawab secara semena-mena.
RUU ini juga berusaha menghilangkan praktek-praktek surogasi ilegal (peminjaman rahim) untuk nantinya menjadi objek Human Trafficking ketika seorang anak dilahirkan. Selain itu pula, negara dapat memberikan bimbingan dan perlindungan untuk menjamin agar tidak terjadi krisis dalam keluarga yang dapat berakibat buruk bagi anak – anak terutama terkait dengan meningkatnya angka perceraian belakangan ini.
Diharapkan Badan Ketahanan Keluarga yang menjadi pusat layanan dari negara untuk menjamin keharmonisan keluarga di Indonesia dapat menjadi garda terdepan untuk memantau kesejahteraan lahir bathin bagi keluarga di seluruh Indonesia.
Walaupun RUU ini mendapat kecaman sinis dari Partai penolak yang menganggap terlalu masuk ke wilayah privat pada level keluarga, tetapi penulis melihat bahwa jutsru RUU ini berusaha menjawab kekhawatiran para Ibu dan Istri yang selama ini seringkali tidak mendapat perlindungan yang cukup dari negara terkait hak-hak mereka sebagai perempuan, misalnya hak cuti hamil selama enam bulan bagi pekerja tanpa dipotong gaji sekaligus sang suami mendapat cuti tiga bulan untuk menemani seorang istri dalam proses awal kelahiran yang kerapkali seorang wanita terkena syndrome “baby blues” sehingga perempuan dapat melewati masa masa awal kelahiran yang melelahkan menjadi lebih kuat karena pendampingan sang suami.
Penulis melihat RUU ini sangat “romantis” karena menjadikan sistem sosial di luar keluarga mendukung sistem internal keluarga agar lebih harmonis dan menjadi keluarga yang sakinah.