OPINI

Prolegnas Prioritas RUU 2021: Antara Harapan dan Ancaman bagi Kepentingan Umat Islam

Ketiga, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) adalah RUU yang pada tahun 2020 gagal menjadi Prioritas dalam Prolegnas, untuk saat ini, RUU ini akan terus didesak untuk dibahas sesegera mungkin terutama oleh para aktivis Perempuan dan lembaga terkait yang arahnya berideologi feminis / feminisme liberal, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang kuat menolak RUU ini karena filosofi dan isinya banyak yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, agama dan nilai-nilai ketimuran.

RUU P-KS ini memang bernuansa liberal dan cenderung permisif karena banyak ruang lingkup dan definisi tentang kekerasan seksual lebih menggunakan standar ideologi barat yang liberal ketimbang nilai-nilai agama Islam yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Misalnya, jika RUU P-KS ini jadi diundangkan, (sesuai draft yang terakhir) maka orang tua yang “memaksakan” anaknya menikah dengan jodoh terbaik yang dipilihkan orang tua, dapat dilaporkan kepada pihak yang berwenang dengan dalil paksaan, begitu pula dengan suami atau istri yang meminta berhubungan badan dengan pasangan resminya, jika dirasakan ada paksaan, maka dengan serta merta dapat menjadi delik aduan bagi yang memaksa.

Bahayanya lagi, hasrat seksual boleh ditampilkan ke publik dan tidak boleh dikritisi karena dianggap sebagai kebebasan berekspresi individu secara seksual, kita akan mudah nanti melihat hasrat seksual yang menyimpang ditampilkan di publik atau media sosial tanpa kita dapat mengkritisi pihak – pihak yang menampilkan tersebut yang dapat merusak pikiran dan kenyamanan generasi anak bangsa kita. RUU P-KS ini pun mendapat dukungan yang kuat dari Kedubes Amerika Serikat yang berkamuflase dibalik argumen kekerasan seksual kepada jurnalis perempuan di lapangan (kasus yang angkanya sangat amat kecil).

RUU P-KS ini tidak obyektif melihat permasalahan mendasar yang dialami wanita yaitu pembinaan untuk menjadi wanita yang shalihah, ekses negatif yang dialami wanita selama ini adalah akibat dari banyaknya kodrat wanita yang dilanggar, salah satunya seperti bekerja di luar rumah tanpa urgensi yang dibenarkan oleh agama. Banyak wanita yang mengalami kekerasan seksual di lingkungan pekerjaan karena mereka memang seharusnya tidak ditempatkan untuk bekerja seperti laki-laki apalagi berbaur dengan laki-laki. Kondisi berbaur (ikhtilath) umpamanya akan mengakibatkan bahaya yang lebih besar seperti perselingkuhan dan pelecehan.

Jika saja negara bisa menjamin kesejahteraan tiap keluarga di Indonesia maka wanita seharusnya tinggal dan dimuliakan di istana-istana (rumah) mereka untuk mendidik generasi anak-anak mereka menjadi lebih baik. Andaikan ada lelaki/suami yang melakukan kekerasan seksual kepada para istri-istri dan anak-anak mereka, maka permasalahan ini terkait dengan kasus mentalitas warga negara kita yang masih sakit. Maka negara harus mencari jalan agar mental warga negaranya sehat dan tidak mudah melakukan kekerasan, biasanya hal ini banyak terkait dengan aspek spiritualitas dan kesejahteraan.

Oleh sebab itu, untuk menurunkan angka kekerasan seksual maka negara wajib bergandeng tangan dengan Lembaga-Lembaga Dakwah untuk membina mental spiritual masyarakat dan diikuti dengan menaikkan tingkat kesejahteraan warganya.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button