Quo Vadis Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia?
Cold War atau Perang Dingin adalah sebutan untuk sebuah peristiwa dimana pada periode tertentu telah terjadi ketegangan politik dan militer antar negara. Kisah klasik perang dingin pernah tercatat dalam sejarah dunia adalah ketegangan politik antara blok liberal barat Amerika Serikat (AS) bersama sekutunya yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik NATO (North Atlantic Treaty Organization) dan blok komunis (Uni Soviet) bersama sekutunya yang menjadi negara negara satelit Uni Soviet.
AS membentuk aliansi militer bernama NATO (North Atlantic Treaty Organization) pada 1949, Uni Soviet membentuk aliansi militer bernama Pakta Warsawa pada 1955. Inilah kekuatan besar dua kutub ideologi yang pembentukan aliansi militernya sama sama dilatar belakangi oleh kekhawatiran dan kecurigaan.
Uni Soviet khawatir dan curiga atas keberadaan NATO yang sewaktu waktu bisa menjadi ancaman bagi negara negara blok timur. AS, Inggris, Perancis yang khawatir dan curiga akan adanya ekspansi Uni Soviet ke Eropa Timur. Latar belakang perang dingin yang dijelaskan Richard W.Mansbach dan Kirsten L.Taylor dalam buku Introduction To Global Politics (2012), sebagai kecurigaan Uni Soviet terhadap niat barat setelah intervensi barat dan Jepang di Rusia utara dan Siberia pada 1918, dimana kedua pihak mempunyai sikap antipati.
Peristiwa perang dingin lebih di dominasi oleh ketegangan politik yang tiap negara berpotensi pada aktivitas senjata nuklir dan gerakan militer. Tapi kedua belah pihak tidak pernah benar benar terlibat pada gerakan militer secara langsung. Namun bila kedua negara bersikap agresif dan mengaktifkan katup senjata nuklirnya maka tidak menutup kemungkinan tercetus perang.
Sebelum masuk tahap paling kritis (Perang yang Substansi), ada dua fase diplomasi yang akan dilalui oleh kedua belah pihak yang bersaing. Pertama adalah Perang Proksi (Proxy War) kedua belah pihak akan membangun konstruksi konfrontasi melalui berbagai aspek seperti politik, propaganda media, blokade ekonomi dengan memakai perpanjangan tangan pihak ketiga.
Kedua adalah Perang Pertahanan (Defense War) yang berarti setiap negara akan melakukan langkah langkah pertahanan diri dan berusaha saling menaklukan satu sama lain melalui moderasi persenjataan, membangun narasi ancaman secara bersamaan, parade militer, membangun diplomasi pertahanan pada negara sekutu, membangun diplomasi yang akan berupaya meningkatkan belanja perang untuk meyakinkan satu sama lain bahwa masing masing siap dengan resiko kesediaan untuk perang yang memicu Mutual Destruction.
Saat ini negara negara di dunia menghadapi apa yang dinamakan pola pikir perang dingin yang mempertaruhkan masa depan negaranya. Bagaimana seharusnya negara di kawasan dan Asia Tenggara bisa terlibat, khususnya membangun debat diplomasi pertahanan di ranah politik internasional yang belakangan ini sedang terjadi sangatlah di tunggu. Dan bagaimana Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara yang berada di garis terdepan, agar bisa bermanuver politik dan diplomasi dalam menghadapi dua hegemoni kekuatan dunia masa kini AS dan China yang menjadi inisiator dua pakta aliansi yang berbeda.
AUKUS (Australia, United Kingdom, United States) sebuah pakta keamanan trilateral yang di bentuk pada 15 September 2021, mengingatkan kita dengan NATO dimasa lalu. Berhadapan dengan The BRI (The Belt Road Initiative) atau OBOR (One Belt One Road) / Jalur Sutra Maritim Inisiatif China, sebuah Strategi Pengembangan Infrastruktur Global yang di bentuk pada 2013. AS dimasa pemerintahan Presiden Barack Obama berinisiatif membentuk Kemitraan Trans Pasifik TPP (Trans Pacific Partnership) / CPTPP (Comprehensive and Progressive Agreement For Trans Pacific Partnership) bertujuan menyeimbangkan hegemoni ekonomi China di kawasan Asia Pasifik.
Terbentuknya TPP/CPTPP yang beranggotakan negara (New Zealand, Australia, Singapore, Brunei, Malaysia, Vietnam, Jepang, Canada, Mexico, Peru, Chile) terakhir bergabungnya Taiwan yang keikutsertaan Taiwan pada TPP/CPTPP memicu konfrontasi militer dengan China adalah pakta perjanjian perdagangan yang membuka pasar perdagangan ekonomi global yang mempromosikan kerjasama pertumbuhan ekonomi AS dengan seluruh negara di kawasan Asia Pasifik tanpa melibatkan China. Dimasa pergantian kepemimpinan Presiden Barack Obama yang dilanjutkan Presiden Donald Trump, AS sebagai inisiator TPP/CPTPP keluar dari pakta aliansi tersebut karena pembentukan pakta tidak pernah di ratifikasi oleh kongres AS.
Kongres AS tidak begitu tertarik dengan diplomasi pertahanan ekonomi TPP/CPTPP dalam upaya menancapkan hegemoni kekuatannya di kawasan Asia tapi lebih tertarik memakai jalan diplomasi konfrontasi untuk menghadapi hegemoni kekuatan China. Dan dimasa pergantian Presiden Donald Trumph yang dilanjutkan Presiden Joe Biden, Presiden Joe Biden berfikir untuk kembali ke TPP/CPTPP tapi belum mendapat persetujuan kongres AS. Presiden Joe Biden dalam pidato ekonominya menginisiasi AUKUS pakta ini mendapat persetujuan dan disepakati kongres AS.
Dalam pembuatan pakta aliansi keamanan baru tersebut langkah pertama adalah memberi Australia akses terhadap teknologi nuklir kapal selam angkatan laut. Ekspor teknologi nuklir AS ini menjadikan Australia sebagai negara kedua setelah Inggris yang memperoleh kapal selam bertenaga nuklir. Kongres AS meloloskan banyak Undang Undang untuk memudahkan transfer ini yang selanjutnya membangun kebijakan ekspor teknologi militer nuklir ke Australia sebisa mungkin tidak menemui hambatan. Aliansi keamanan trilateral baru yang di inisiasi AS, Inggris dan Australia untuk Indo Pasifik adalah untuk memungkinkan pembangunan kerjasama pertahanan keamanan yang dianggap lebih menjanjikan untuk menghadapi strategi ofensif China di kawasan yang paling strategis.