OPINI

Quo Vadis Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia?

Di sinilah Indonesia bersama 28 negara lain yang menjadi perwakilan mampu membangun kebijakan dan merefleksikan kekuatan negara negara dunia ketiga yang tidak ingin terlibat dan menjadi sekutu bagi ketegangan politik AS dan Uni Soviet. Pengalaman Indonesia bersama negara anggota Konferensi Asia Afrika mampu meredam ketegangan perang dingin dua kutub blok itu. Kepiawaian perunding perunding Indonesia terbukti dalam upaya memenangkan Irian Barat dari perselisihan dengan Belanda. Pada 4 desember 1954, PBB mengabulkan Indonesia sebagai berhak atas Irian Barat di Sidang Majelis Umum PBB pada 1955.

Jika kita melihat konflik AS dan China hari ini tentu tidak akan berguna bagi Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara untuk memihak ke salah satu blok. Bagaimana Indonesia bisa memihak salah satu aliansi jika di dalam aliansi itu membangun konsesus dan perjanjian yang tendensius serta menjauhkan satu sama lain. Perlu diperhatikan bahwa dengan munculnya dua pakta aliansi ini telah mendorong negara anggota di kawasan untuk ikut serta memperkuat kekuatan militernya yang mendorong masing masing negaranya di arena politik internasional menjadi dominan diantara negara tetangga dan negara lainnya.

Bergabungnya Malaysia, Singapore, Brunei, Filiphina, Vietnam dengan TPP/CPTPP, dasarnya adalah kekhawatiran akan agresifitas China yang cenderung melanggar zona di laut China selatan dan China yang mempersulit lalu lintas hubungan perdagangan negara tersebut dengan AS memunculkan konflik ketegangan di perbatasan negara mereka. Lalu bagaimana dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia, apakah Indonesia menjadi bagian dari salah satu pakta aliansi? Asumsi yang terbangun adalah terlihatnya gejala Indonesia yang telah bersepakat dengan pakta BRI/OBOR Tiongkok. Jika melihat lintasan sabuk Jalur Sutra Maritim yang melintasi pulau Kalimantan sangat tampak bahwa Indonesia telah merintis kerjasama BRI/OBOR Tiongkok dengan dalih perencanaan ibukota baru sebagai negara satelit. Kebijakan politik dalam negeri cenderung memuluskan regulasi yang sangat berorientasi terjadinya agresi.

Rencana pemerintah Indonesia yang membentuk susunan pemerintahan baru di ibukota baru (kumparan.com;3/10/21), menjadi tanda tanya besar bagaimana susunan pemeritahan di ibukota baru. Lalu bagaimana kerjasama Indonesia dengan China terkait dengan sumber energi terbarukan lithium untuk memenuhi permintaan sektor baterai bagi kendaraan listrik (VOA Indonesia 26/9/21), yang masih harus di teliti aspek penambangan dan pengolahan lithium terkait dengan lingkungan, ekosistem alam, ekonomi masyarakat tempatan di sekitar pertambangan dan terbatasnya kesediaan energi terbarukan ini yang menurut perkiraan hanya tersedia sampai 2030.

Akan dikemanakan sampah sampah baterai itu jika sumber lithium itu habis. Sebaiknya kita tidak perlu mengikut intruksi negara lain yang memaksa kita melakukan eksploitasi lingkungan dan sumber daya alam, sumber daya manusia untuk mengikuti inisiatif ekonomi negara lain yang mereka sendiri sedang kesulitan menghadapi masalah ekonomi dalam negerinya. Kita perlu mengingat tentang teori domino yang mengacu pada satu kekuatan mempunyai efek domino jika negara pertama jatuh apa yang terjadi selanjutnya adalah akan diikuti kejatuhan negara lain dengan sangat cepat.

Pemerintah Indonesia perlu menimbang hubungan kerja sama internasionalnya. Jika Indonesia bergabung dengan salah satu pakta aliansi, apakah ketentuan administrasi yang dibangun pakta telah sesuai dan tidak menghambat fleksibilitas dan stabilitas terkait administrasi kerjasama Indonesia dengan negara yang bukan anggota pakta. Apabila pemerintah Indonesia merasa perlu bergabung dengan salah satu pakta aliansi dalam situasi ini, artinya Indonesia telah keluar dari kebijakan Politik Luar Negeri Bebas Aktif nya.

Indonesia negara paling terdampak pada pakta aliansi ini dan sebagai juru runding di arena diplomasi internasional, kepiawaian Indonesia dengan Politik Diplomasi Kearifan nya sangat dinantikan untuk meredam ketegangan dua kutub blok AS dan blok China agar tidak semakin agresif dan juga tidak memancing agresivitas negara di sekitar kawasan. Seperti pepatah melayu yang berkata ‘Gajah Bertarung Planduk Yang Mati’ pada kondisi ini Indonesia tidak boleh putus asa dan merasa harus bergabung dengan salah satu pakta aliansi. Lalu apakah Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia yang bukan berarti netral itu membolehkan Indonesia untuk memihak pada TPP/CPTPP atau mendukung AUKUS?

Kita tidak boleh menjadi bangsa yang mudah lupa, karena tiga negara anggota AUKUS pernah mengintervensi masalah politik dalam negeri dan luar negeri Indonesia terhadap kasus Timor Leste, Sipadan Ligitan dan Papua, begitu juga pemerintah Tiongkok yang bertanggung jawab terhadap tensi keamanan politik di kawasan yang terlalu memaksakan kehendaknya dan menimbulkan konflik dengan negara yang berdekatan.

Jika keterlibatan Indonesia pada salah satu pakta aliansi semata mata mencari keuntungan besar dari kerjasama ekonomi yang agresive, pada masa ini Indonesia banyak menghadapi dinamika perjanjian perdagangan bebas dengan negara lain di kancah politik internasional yang tergabung dalam organisasi perdagangan bebas WTO (World Trade Organization). Masih banyak permasalahan perjanjian perdagangan bebas internasional yang berujung konflik dan berefek pada kebijakan ekonomi dalam negeri yang hingga hari ini belum menemukan titik temu.

Posisi Indonesia di kancah politik internasional memerlukan negosiator negosiator handal untuk membangun kembali diplomasi dan negosiasi yang mampu mengkontruksikan politik damai atau mendamaikan segala negara yang bertentangan. Indonesia harus menjadi pionir dan bersuara dalam membangun hubungan baik dengan negara negara anggota pakta aliansi untuk menjadi Balancing Actor membuka kesadaran negara lain untuk meng Counter Hegemony AS dan China yang sudah mengontrol negara anggota. Menjadi harapan bangsa Indonesia agar para diplomat dan pemangku amanah negara ini dapat sekali lagi membuat langkah diplomatik spektakuler seperti Konferensi Asia Afrika dimasa lalu demi meredam dan mengakhiri perang dingin blok AS dan blok China di zaman ini.

“Tak ada yang lebih berbahaya dari pada perasaan takut. Kita harus menghadapi masa datang dengan rasa penuh percaya diri sendiri, menerima keadaan sebagaimana adanya dan diatas dasar itu membangun organisasi dan ekonomi kita”. –Mohammad Hatta-

Fitriah Abdul Aziz, S.Sos., Fungsionaris DPP Partai Dakwah Rakyat Indonesia, Wakil Ketua Umum Muslimat Dewan Da’wah

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button