Ramadhan, Mengembalikan Cahaya di Tengah Gulita

Tagar #IndonesiaGelap adalah respon terhadap beberapa kebijakan publik yang dinilai berimbas langsung pada rakyat. Mulai kenaikan pajak, kebijakan gas LPG, efisiansi anggaran di sektor-sektor strategis. Selain itu, kasus gar laut yang mengancam kedaulatan negeri, penegakan hukum yang terkesan tebang pilih hingga mega korupsi yang membuat kondisi negeri semakin gelap.
Jika menelisik lebih dalam, problematika yang membelit negeri ini karena penerpan sistem kapitalis sekuler yang menihilkan agama dalam kehidupan, Tuhan hanya dijadikan pencipta tapi tidak diberi ruang mengatur kehidupan.
Kapitalisme meletakan kedudukan penguasa tidak lebih tinggi daripada pemilik modal, alhasil kebijakan yang dsajikan demi kepentingan korporasi dan oligarki yang sering kali mengorbankan nasib rakyat.
Nilai tertinggi yang harus diraih adalah kemanfaatan atau materi semata, sehingga standar halal dan haram, benar dan salah tidak lagi menjadi soal. Seolah kekuasaan hanya sebatas dunia tanpa ada pertanggung jawaban di hadapan pencipta.
Kehidupan kita di dunia membutuhkan petunjuk agar bisa berjalan sesuai jalur yang benar. Petunjuk itu bisa berupa ilmu yang didapatkan dari proses pencarian dan validasi yang mengantarkan pada kebenaran dan keyakinan, bisa juga berupa amal perbuatan manusia yang menjadi rujukan untuk diikuti atau sebaliknya berupa pelajaran untuk ditinggalkan.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang sempurna hadir memberikan peringatan, petunjuk dan pembeda antara hak dan batil. Al-Qur’an memuat kisah-kisah umat terdahulu yang sarat dengan pelajaran berharga dan hikmah untuk umat manusia.
Almarhum Syekh Ali Jaber dalam buku “Cahaya dari Madinah”, menyatakan 70 persen isi Al-Qur’an berisi tentang kisah yang menggambarkan betapa sejarah itu terjadi pengulangan, meski dengan dimensi waktu dan aktor yang berbeda.
Akan ada yang mengambil peran antagonis dan protagonis, kebenaran dan kebatilan akan senantiasa bertarung dan itu semua adalah sunnatullah supaya menjadi pengingat dalam kita menjalani kehidupan dengan kompleksitasnya.
Adalah Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul telah mendapatkan citra “al-amin” artinya yang dipercaya oleh kaumnya. Namun ketika beliau melihat sekelilingnya begitu banyak kezaliman, kecurangan, intimidasi dan kemaksiatan beliau melakukan perenungan, berkontemplasi mencari kebenaran. Hingga akhirnya beliau bertahannuts -mengasingkan diri dari keramaian untuk mengisi hati, mendekat kepada Allah Ta’ala- di Gua Hira hingga turun wahyu pertama.
Beliau tinggal di dalam gua tersebut selama bulan Ramadhan. Beliau menghabiskan waktu untuk beribadah di sana dan banyak merenungi kekuasaan Allah di alam semesta yang begitu sempurna. Selama perenungan itu juga beliau semakin menyadari keterpurukan kaumnya yang masih terbelenggu oleh keyakinan syirik. Namun ketika itu beliau belum memiliki jalan yang terang dan jelas mengenai bagaimana jalan yang harus ditempuh.
Wahyu yang turun pertama adalah surat al ‘Alaq ayat 1-5. Sebagaimana keterangan dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau menyebutkan:
“Awal turunnya kepada Rasulullah Saw dimulai dengan ar ru’ya ash shadiqah (mimpi yang benar dalam tidur). Dan tidaklah Beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian Beliau dianugerahi rasa ingin untuk menyendiri. Nabi pun memilih gua Hira dan ber-tahannuts. Yaitu ibadah di malam hari dalam beberapa waktu. Kemudian beliau kembali kepada keluarganya untuk mempersiapkan bekal untuk ber-tahannuts kembali. Kemudian Beliau menemui Khadijah mempersiapkan bekal. Sampai akhirnya datang Al Haq saat Beliau di gua Hira. Malaikat Jibril datang dan berkata: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan: Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!” Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Maka Malaikat itu memegangku dan memelukku sangat kuat kemudian melepaskanku dan berkata lagi: “Bacalah!”. Beliau menjawab: “Aku tidak bisa baca”. Malaikat itu memegangku kembali dan memelukku untuk ketiga kalinya dengan sangat kuat lalu melepaskanku, dan berkata lagi: (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah).” (HR. Bukhari no. 6982, Muslim no. 160)