NUIM HIDAYAT

Selamatkan Indonesia dengan Al-Qur’an

Bangsa Indonesia adalah bangsa pejuang. Bangsa yang bergerak. Kemerdekaan yang diraih pada tahun 1945, bukanlah kemerdekaan hasil pemberian Jepang atau Belanda. Kemerdekaan itu diraih dengan darah para santri, penduduk biasa, ulama dan lain-lain.

Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia pernah menjadi polemik pada tahun 1956 sampai 1959. Saat itu terjadi perdebatan yang panas antara kelompok Nasionalis Islam (Masyumi, NU dan lain-lain) dan Nasionalis Sekuler (PNI, PKI dll). Bila kelompok Islam ingin Islam menjadi landasan negara, maka kelompok sekuler ingin menjadikan Pancasila sebagai dasar negara.

Kenapa kelompok Islam ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara? Ya karena mereka –terutama tokoh-tokohnya- melihat bahwa Pancasila mudah diselewengkan. Mereka telah melihat penyelewengan Presiden Soekarno terhadap Pancasila. Mereka melihat Pancasila digunakan Soekarno untuk ‘menindas’ kelompok Islam. Mereka melihat Pancasila ditarik ke Marxisme sehingga PKI bersuka cita menindas Masyumi dan lain-lain.

Pada tahun 60-an Presiden Soekarno memenjarakan tokoh-tokoh Masyumi (dan PSI) dengan tuduhan yang tidak jelas. Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, Kasman Singodimedjo, Hamka dan lain-lain mendekam di penjara. Natsir ‘menderita’ di penjara sekitar empat tahun, tanpa kejelasan kesalahannya.

PKI yang mengelilingi Soekarno rupanya tidak puas hanya memenjarakan tokoh-tokoh Masyumi. Mereka kemudian menculik dan membunuh para jenderal yang kritis kepada PKI. PKI rupanya ingin menguasai Indonesia, tanpa ada yang mengganggu kekuasaannya. Ideologi komunis memang menempatkan kekuasaan pada kenikmatan yang tertinggi. Dengan kekuasaan itu mereka dapat tepuk tangan, harta, pengaruh dan lain-lain.

Komunis yang merupakan ideologi yang menolak Tuhan dan kehidupan setelah mati memang merupakan ideologi berbahaya. Kepercayaan ini mengakibatkan mereka melihat dunia ini adalah segalanya. Kerakusan, ketamakan, kesombongan, kemaksiyatan membelit pada penganut ideologi ateis ini.  Mereka hanya mengikuti akal dan nafsunya belaka, menolak wahyu dari Tuhan dalam menjalani kehidupannya.

***

Ketika Soeharto naik menjadi presiden (1966), Pancasila pun digeser ke arah kapitalisme. CSIS (Centre for Strategic and International Studies) yang merupakan think tank Soeharto, membuat umat Islam tersudut berpuluh tahun lamanya. Dari sekitar 1967-1997 umat Islam dijebak dengan sudut kesalahan peristiwa PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan NII (Negara Islam Indonesia). Kelicikan CSIS kemudian ‘menempatkan PKI’ sebagai ekstrem kiri sebagai musuh bangsa. Eka (Ekstrem Kanan –Islam), Eki (Ekstrem Kiri-PKI) menjadi landasan bangsa ini ketika bergerak. Sehingga yang terjadi kemudian bahwa Islam atau Komunis menjadi tertuduh, sampai mereka terbukti tidak bersalah.

Penempatan Islam atau NII sebagai esktrem kanan itu menjadikan sebagian Muslim tidak bisa mengendalikan amarahnya melawan pemerintah saat itu. Sehingga terjadi kemudian pergolakan puluhan tahun di Aceh, Tanjung Priok, peledakan Bank BCA dan lain-lain.

Jeratan CSIS kepada Soehato begitu kuatnya, sehingga Pak Harto akhirnya haji 1988. Di tahun setelah itu kebijakan ‘mantan Pangkostrad’ mulai berubah. Ia mulai menyadari kesalahannya. Maka bergegaslah ia mengangkat panglima TNI yang Muslim mengganti Benny Moerdani yang Kristen (Benny mempunyai hubungan yang erat dengan CSIS).  Menyetujui pembentukan ICMI, meresmikan pendirian Bank Muamalat, menyetujui terbitnya Koran Republika (untuk menyaingi Kompas) dan lain-lain.

Kebijakan Pak Harto yang berubah haluan ke Islam itu, tentu menimbulkan gerah bagi CSIS. Maka kelompok think tank ini kemudian mengadakan ‘gerakan politik’ menghimpun berbagai kelompok kiri/komunis untuk menumbangkan Soeharto. Cikal bakal penumbangan Pak Harto adalah PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang dipimpin Budiman Sudjatmiko. Gerakan PRD ini pergerakannya mulai dari kampus. Kebetulan saat itu, penulis menjadi wartawan Media Dakwah sehingga melihat langsung ulah gerakan ini. Penulis melihat bagaimana kelompok komunis/kiri ini menggerakkan mahasiswa-mahasiswa di Universitas Indonesia dan Universitas Gunadarma.

Jadi kelompok komunis dan CSIS –karena merasa dikecewakan Pak Harto- bersekongkol untuk menumbangkan Pak Harto. Kelompok Islam hanya ‘dijadikan alat’ oleh mereka. Seperti diketahui CSIS punya hubungan erat dengan ‘pemerintah Amerika’.

Kenapa kelompok komunis begitu benci kepada Soeharto dan kawan-kawannya? Ya karena mereka dianggap telah membunuh dan menahan ribuan (ratusan ribu?) kawan-kawan mereka. Komunis lupa bahwa yang terjadi saat itu adalah perang. Dimana Angkatan Darat merasa bahwa pimpinan mereka telah diculik dan dibunuh dengan sadis oleh PKI. Maka wajar dalam perang, korban  musuh dibabat sebanyak-banyaknya. PKI adalah sebab, bukan akibat. Jadi PKI atau tokoh-tokoh komunis harusnya meminta maaf lebih dulu kepada bangsa ini, sebelum tokoh-tokoh TNI meminta maaf karena mungkin tindakan mereka yang ada yang melampaui batas dalam perang melawan komunis saat itu.

Ketika Habibie naik –dan ini nampaknya yang diharapkan Amien Rais ketika berperan dalam menumbangkan Soeharto- kelompok kiri yang tergabung dalam PDIP terus menerus menggoyangnya. Sehingga Habibie hanya mendapat kesempatan kurang dari dua tahun memerintah Indonesia.

Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi naik, nasib Indonesia tidak kunjung baik. Bahkan kini Indonesia terjerat hutang yang besar, ekonomi yang terus memburuk, ‘demokrasi yang sumpek’, tokoh-tokoh Islam ditangkapi dan seterusnya.

***

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button