Selamatkan Perempuan dari Sesat Pikir Kesetaraan Gender
Pada 25 Juni lalu, UN Women melakukan konferensi pers di New York, AS yang dilakukan oleh Shahra Razafi yang menjabat sebagai Kepala Riset dan Data UN Women, Phumzile Mlambo-Ngcuka, Direktur Eksekutif, dan Marwa Sharafeldin, Aktivis dan Anggota Dewan Musawah, Gerakan Internasional Untuk Kesetaraan dan Keadilan Dalam Keluarga.
UN Women meluncurkan laporan utamanya yaitu “Kemajuan Perempuan Dunia 2019-2020: Keluarga di Dunia yang Berubah”. Isinya adalah agenda kebijakan untuk mengakhiri ketidaksetaraan gender dalam lingkup keluarga. Dimana dalam laporannya keluarga masih berpotensi untuk melakukan pelanggaran hak asasi kesetaraan gender. (www.unwomen.org)
Sejarah Gender di Indonesia
Istilah gender lahir pada abad pertengahan (abad XX). Gerakan ini mulai diperkenalkan pertama kali oleh Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton pada tahun 1848. Gender sendiri bukanlah jenis kelamin (sex) melainkan peran yang diakibatkan dari jenis kelamin seseorang (laki-laki atau perempuan).
Tidak bisa dipungkiri peran ini tentu berbeda dari masyarakat satu dengan yang lain. Rujukannya ialah pada kepatutan dan etika sosial yang berlaku dalam masyarakat. Adapun di Indonesia, sejarah gender tak bisa dilepaskan dari kisah emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari keterkungkungan dan perjuangan meraih persamaan hak dan kesetaraan dengan laki-laki.
Secara personal emansipasi mencuat dengan diterbitkannya surat-surat pribadi RA Kartini dengan isteri Gubernur Hindia Belanda di Indonesia, Abendanon (1899-1904). Geliat emansipasi perempuan ini kemudian dilanjutkan secara kelompok ada Aisyiyah Muhammadiyah (1917), Fatayat NU (1950), dan Gerwani (1954) sebuah organisasi under bow PKI.
Gerakan ini mengalami perubahan orientasi dari sekadar menuntut hak pendidikan, kesehatan, dan kehidupan laik menjadi sebuah arus feminisme. Yaitu gerakan yang menuntut penyetaraan dan persamaan mutlak antara kaum laki-laki dan perempuan terutama pasca Konferensi Perempuan Internasional I di Meksiko pada tahun 1975.
Mewaspadai Gerakan Feminisme
Gerakan feminisme ini menjadi sangat liberal dengan berkembangnya liberalisme di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Target gerakan feminisme liberal yang terselubung dalam slogan penyetaraan gender adalah perempuan, maka termasuk didalamnya juga anak-anak dan rumah tangga atau keluarga. Jangka panjangnya adalah merusak tatanan sosial masyarakat Islam.
Ini dapat terlihat jelas dari berbagai perundang-undangan yang berlaku. Seperti UU no 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, UU no 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak.
Selain itu penggiat feminisme di Indonesia juga berusaha melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Dalam bidang politik pun merekalah yang berada di belakang keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang kuota Caleg perempuan sebanyak 30 persen. Dan yang terbaru adalah RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang sekarang gencar digaungkan dan diperjuangkan untuk disahkan menjadi undang-undang.
Wacana yang semakin bebas juga dimasukan dalam meja-meja keputusan di ranah internasional melalui UN Women yaitu entitas PBB untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Yang tujuannya untuk mendorong dan mendukung badan antar-pemerintah, negara-negara anggota untuk merumuskan kebijakan dan menerapkan standar dalam pemberdayaan perempuan.