SAKINAH

Wanita Lemah: Apa Makna dan Arti Sesungguhnya?

Wanita itu makhluk lemah. Begitu adagium yang terlanjur tersebar di masyarakat. Wanita dikelompokkan jadi kelas dua dunia. Sering dipojokkan. Apalagi kalau disejajarkan dengan kaum Adam maka jauh sekali, tak ayal gerakan feminisme dan emansipasi selalu laku di lapangan.

Bil dulu gerakannya ingin bebas. Misalnya bebas dari penindasan dan kungkungan aturan budaya; sekarang masih sama, hanya saja lebih horor mengarah pada kebebasan di luar batas kodrati kewanitaannya. Pakem sosial yang jadi adat mulai ditabrak– mengarah dipreteli. Pakem agama pun ditengarai telah menzalimi wanita dari segi kebebasan: jilbab, cadar, burqa, pakaian gamis, dan lainnya ikut jadi diskursus hangat untuk ditelanjangi demi kebebasan yang dituju.

Lantas, benarkah adagium agama memenjara wanita? Apa dan bagaimana maksud kata “lemah” yang disematkan pada wanita? Benarkah budaya bangsa tak memberi ruang sosial?

Kita bisa memulai pembahasan ini dari potongan ayat 34 surat an-Nisa. Yaitu “Arrijalu qowwamuna ‘alan nisa”. Secara literal berarti lelaki itu pelindungnya wanita. Ini ayat yang viral dan banyak dibahas oleh banyak dai.

Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya, qowwam berarti pelindung, penjaga, penguasa, pemimpin dan pendidik. Hal itu karena lelaki punya kelebihan dari kaum wanita.

Tetapi harus dipahami bukan berarti wanita itu manusia kelas kedua. Memang benar wanita itu lemah dan ini bukan tanpa alasan. Di mana-mana sesuatu butuh pelindung maka pasti lemah. Redaksinya kan begitu.

Akan tetapi wajib kita ketahui redaksi itu arahnya ke mana, tidak selalu negatif. Saya lebih suka menyebut wanita itu bukan lemah, tetap lembut. Beda sekali konotasi lembut dengan lemah itu.

Lelaki secara fisik memang kuat, gagah, dan nyaris menarik. Wanita lain lagi, ternyata di balik kelembutan itu tersimpan mutiara cinta, kesabaran, keindahan, keuletan, kepekaan–itu semua mengarah kepada kehalusan budi dan manisnya jiwa.

Di balik tubuh wanita yang “lembut” terlihat kecantikan juga keindahan. Kulitnya yang beda dengan lelaki memiliki daya yang berbeda. Secara fisik berbeda, akan halnya bumi dan langit memiliki kelebihan berbeda.

Qowwam bisa kita pahami lelaki harus mampu menjadi teladan dan pengayom. Wanita menjadi mitra dari kaum lelaki. Keduanya harus bisa sinergi dan saling melengkapi. Bukan saling mencari keunggulan tanpa memiliki esensi. Ego tertutupi idealisme.

Sampai di sini kita pahami bahwa agama tak mendiskreditkan wanita. Islam misalnya memberi ruang seluasnya kepada wanita. Negara pun ikut memberi kebebasan terkait itu. Kita bisa menyaksikan kaum hawa banyak berkecimpung di ruang sosial. Ada yang jadi menteri, presiden, dosen, ilmuwan, ustazah; semua tak jadi soal. Selama tetap tahu dengan kodratnya.

Bisa kita katakan gerakan feminisme dan emansipasi sebuah gerakan ketinggaan zaman. Di zaman ini punya dan diberi ruang. Mau apa lagi kalau sudah diberi? Apa tak berlebihan mereka itu hanya gerakan pansos dan menebar “paham ekstrem” yang melahirkan kaum hawa lupa kearifan lokal, kekayaan bangsa, moral bangsa yang berbudaya sebagai warisan para pendahulu.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button