TELADAN

Self Fulfilling Prophecy dan Self Eficacy dalam Kisah Uwais Al-Qarni

Pernah pada satu waktu, Uwais meminta izin kepada ibunya untuk berjumpa dengan Rasulullah Saw yang saat itu berada di Madinah. Ibunya mengizinkan dan berpesan kepada Uwais agar cepat pulang karena merasa sakit-sakitan. Sesampainya di Madinah, Uwais langsung menuju kediaman Rasulullah Saw. Namun sayang, Uwais tak bisa menemui Rasulullah yang saat itu sedang berada di medan perang, terlintas dalam diri Uwais saat itu, untuk menanti kepulangan Rasulullah agar ia bisa berjumpa.

Akan tetapi, pesan sang ibu yang memintanya agar lekas kembali ke Yaman dan keadaan ibunya yang sakit-sakitan, memaksa Uwais untuk pamit kepada Siti Aisyah ra, istri Rasulullah yang ketika itu ada di rumah. Iapun bergegas kembali dan menitipkan salam untuk Rasulullah Saw. Dalam hal ini, self fullfilling prophecy Uwais yang didasari iman, cinta dan keadaan diuji oleh dua keadaan yang kemudian mendorongnya memilih satu keputusan, memang terkadang, pada sewaktu-waktu individu sering dihadapkan pada dua kondisi genting dalam kehidupannya, maka jalan keluarnya adalah mengutamakan maslahat dan mafsadat dari tindakan yang diambil. Mengutamakan sesuatu yang mana tak ada satupun orang yang bisa menggantikan posisi kita dalam hal tersebut.

Makhluk langit dan bumi menjadi saksi ketaatan dari Uwais al-Qarni yang senantiasa memenuhi keinginan sang ibu, melegenda dalam tubuh sejarah memecah jagat semesta yang penuh kebekuan, suatu saat ibunya berkata kepada Uwais dengan nada penuh kelembutan, “Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan membersamaimu di kehidupan ini, ikhtiarkan agar ibu dapat mengerjakan haji.” Pinta ibunya. Permintaan itu terasa berat di tengah kehidupan dan kefakirannya, akan tetapi keyakinan diri yang diiringi tawakal kepada Allah, yang menghujam dalam diri Uwais membuatnya mampu untuk memenuhi keinginan sang Ibu. Keyakinan diri tersebut dikenal dengan istilah self-efficacy yang merupakan keyakinan diri seseorang tentang kemampuannya akan menghadapi suatu tantangan yang akan dihadapinya (Bandura, 1982).

Self-efficacy seseorang akan mendeterminasi cara coping individu terhadap masalah dan berapa lama individu tersebut akan bertahan menghadapi masalah yang dihadapinya. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan mengeluarkan usaha yang efisien dan efektif dimana usaha tersebut akan mempunyai kemungkinan besar untuk menyelesaikan masalah yang dimilikinya.

Walaupun jarak dari Yaman menuju Makkah sangatlah jauh. Melewati padang tandus yang terik membakar, melelahkan, dan melemahkan dahaga yang menempuhnya. Biasanya kafilah yang pergi menuju Makkah menggunakan unta untuk membawa banyak perbekalan. Akan tetapi, Uwais terus berpikir untuk mencari jalan keluar agar ibunya bisa berangkat ke Tanah yang suci dan mulia itu. Uwais membeli seekor anak lembu dan membuat kandangnya di puncak bukit. Setiap pagi ia bolak-balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. Aktivitas Uwais menimbulkan pandangan aneh dalam pandangan massyarakat saat itu, hingga berlalulah rutinitas itu bersamaan dengan anggapan aneh yang tak berdasar. Selama 8 bulan, berat Lembu Uwais telah mencapai 100 kilogram.

Sampai pada saat tiba musim haji, Uwais merasa otot-ototnya sudah kuat dan siap mengangkat beban berat. Dia pun menggendong sang Ibu dari Yaman ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, untuk menyempurnakan keislaman sang ibu dan membuktikan ketaatannya. keyakinan diri Uwais tentang kemampuannya dalam menghadapi segala tantangan yang akan dihadapinya merupakan pejawantahan yang berlandaskan iman, cinta, dan perjuangan, dalam konsepnya self-efficacy yang tinggi mengeluarkan usaha yang efisien dan efektif untuk sampai pada puncak cita-cita mulianya. Bandura (2009) mengidentifikasi empat faktor yang dapat mempengaruhi self efficacy: (a) Pengalaman, (b) modeling, (c) social persuasion, dan (d) keadaan emosi. Pengalaman keberhasilan seseorang atas tugas yang dilakukan akan meningkatkan self-efficacy.

Setibanya di tanah yang suci dan mulia itu, Uwais al Qarni dengan penuh cinta dengan tegap menggendong, mendekap, dan menuntun sang ibu, menyatukan hati dan raganya bersama sang kekasih yang menjadi wasilahnya untuk lahir ke muka bumi dengan tulusan kasih dan sayang yang tak terhenti dan bertepi mereka menyempurnakan ibadah haji,berihram, wukuf di padang Arafah,Thowaf di Kakbah, Sa’i antara bukit Safa dan Marwa dan menyempurnakan rukun ibadah haji lainnya. Di depan Kakbah air mata sang ibu tumpah ruah sebagai wujud rasa syukur atas rahmat Allah kepadanya saat ananknya Uwais berdoa, “Ya Allah, ampuni semua dosa ibu. “Bagaimana dengan dosamu?” tanya sang ibu dalam kepada Uwais yang tak meminta dosanya diampuni. “Dengan terampuninya dosa ibu, maka ibu akan masuk surga. Cukuplah ridha dari ibu yang akan membawaku ke surga.” jawab Uwais.

Allah Swt, memberikan karunia untuk Uwais. Penyakit kusta di tubuh Uwais seketika itu sembuh. Hanya meninggalkan bulatan putih ditengkuknya. Yang kemudian tanda di tengkuk itu menjadi sebuah tanda sebagaimana disebutkan Rasulullah kepada Khalifah Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib untuk mengenali Uwais.

Hingga pada akhirnya Khlaifah Umar dan Ali bertemu Uwais. Sesuai dengan pesan Rasulullah, meminta Uwais agar mendoakan mereka diampuni oleh Allah SWT. Setelah beberapa tahun dari pertemuan itu, Uwais Al-Qarni wafat. Masyarakat Yaman yang menyaksikan kematian beliau merasa heran, sebab banyaknya orang yang berebut untuk memandikan, menyalatkan dan menguburkan jenazah Uwais Al-Qarni. Banyak yang meyakini bahwa, orang-orang yang berebut memandikan, mensholatkan dan menguburkan jenazah Uwais Al-Qarni ketika itu adalah para penduduk langit (malaikat). “Para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya.

Pertemuan khalifah umar dan Ali dengan Uwais Al-Qarni, Terwujudnya harapan seorang ibu dan harapan Uwais untuk berangkat menunaikan haji merupakan gambaran self-fulfilling prophecy, sementara harapan Uwais untuk bertemu dengan Rasulullah Saw dan harapan Uwais mendapatkan ridha sang ibu untuk membawanya ke surga merupakan self fulfilling prophecy yang belum terwujud akan tetapi penulis yakin Uwais telah bertemu dengan Rasulullah dalam versi yang lebih indah dan mulia di akhirat, bersama dengan keridhoan sang ibundanya, ini menunjukkan bahwasanya harapan setiap mukmin itu harus mengalami sinkronisasi antara harapan terhadap yang fana dan harapan terhadap sesuatu kekal dan memuarakan segala bentuk harapan hanyalah kepada Allah SWT bukan kepada siapapun (bertawakal kepada Allah) . Semoga harapan kita selalu disertai taufik dan rahmat Allah SWT.

M. Sulhan, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga, Konsentrasi Pendidikan Islam.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button