Setop Campur Tangan Pimpinan Parpol dalam Penunjukan Panglima TNI
Apa sebab penunjukan panglima TNI saat ini menjadi ribet sekali? Mengapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerepotan menetapkan pengganti Marsekal Hadi Tjahjanto?
Sederhana sekali persoalannya. Bahwa yang terjadi adalah ketidakpahaman tentang tugas dan fungsi TNI. Atau mungkin bukan ketidakpahaman, melainkan keinginan untuk menyalahgunakan para petinggi TNI, struktur, dan personelnya.
Panglima TNI adalah jabatan profesional. Bukan jabatan politis. Jabatan profesional dalam arti bahwa bagi seorang presiden, siapa pun dia, figur panglima TNI haruslah personel yang terbaik untuk masalah kemiliteran dan pertahanan.
Kalau ini yang dijadikan patokan, pasti tidak sulit menunjuk panglima TNI. Tidak akan ada tarik-menarik. Presiden cukup meminta pendapat Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) TNI. Bisa juga berkonsultasi dengan para jenderal purnawirawan dan para pengamat militer.
Yang terjadi saat ini adalah bahwa Presiden Jokowi harus mendengarkan keinginan para politisi, terutama para politisi parpol-parpol besar yang ada di dalam koalisi pemerintah. Misalnya, Jokowi harus mendengarkan keinginan pribadi Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (Bu Mega).
Preferensi Bu Mega adalah Jenderal Andika Perkasa yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Sedangkan Jokowi tidak setuju. Tapi dia tak mapu mengambil keputusan. Jokowi merasa tidak enak kalau kemauan Bu Mega ditolak. Akibatnya, penunjukan panglima menjadi terkatung-katung.
Semua ini terjadi karena Jokowi masih merasa dirinya sebagai petugas partai. Dia tak berani melawan Bu Mega.
Situasi seperti yang berlangsung sekarang ini terkait kepastian panglima seharusnya tidak menyeret-nyeret TNI ke ruangan politik praktis. Para politisi, terutama Megawati, seharusnya menyadari bahwa memaksakan keinginan untuk posisi panglima TNI akan menurunkan wibawa korps angkatan bersenjata.
Para jenderal, laksamana dan marsekal yang telah berjuang keras untuk profesionalisme TNI sangat tidak layak diganggu oleh nafsu para politisi. Sudah saatnya menghentikan campur tangan partai politik dalam urusan pimpinan TNI. Sebab, kalau seorang panglima merasa berhutang budi karena didukung oleh ketua umum parpol, hampir pasti dia merasa perlu membalasnya.
Balas budi inilah yang bisa menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya, ketika pimpinan parpol memberikan isyarat halus tentang keinginan untuk mendapatkan akses ke proyek-proyek yang ada di lingkungan TNI, bagaimana mungkin panglima menolak? Atau, bisa juga panglima yang didukung ketua umum parpol akan, dengan sendirinya, mengerti apa yang harus dia lakukan untuk balas budi.