Siapa Plonga-plongo?
Ada sederetan peristiwa besar yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir ini, pasca Pemilu April 2019 lalu. Demonstrasi berujung kerusuhan di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat sebagai buntut dari insiden kasus rasis di Surabaya, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera, dan yang masih belum selesai adalah tragedi kemanusiaan di Wamena, Papua.
Demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan revisi UU KPK dan RUU KUHP juga berujung rusuh. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) meninggal dunia. Immawan Randi (21), mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan sekaligus kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) terkena tembakan di dada kiri tembus ke dada kanan. Sementara Muhammad Yusuf Kardawi (19), mahasiswa Fakultas Teknik angkatan 2018 meninggal akibat tulang kepalanya retak.
Korban penembakan bukan hanya peserta unjuk rasa, tetapi juga seorang ibu hamil enam bulan yang sedang tertidur lelap di rumahnya Jl Syeh Yusuf, Kecamatan Mandonga, Kota Kendari, Kamis (26/9) sekitar pukul 16.00 WITA. Identifikasi sementara disebutkan bahwa peluru yang diangkat dari betis ibu hamil berkaliber sembilan milimeter.
Di Jakarta, mahasiswa Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Faisal Amir (21) juga menjadi korban kekerasan aparat dalam demonstrasi pada Selasa (24/9) di Senayan. Faisal sempat dikabarkan telah meninggal. Alhamdulillah, ternyata ia masih hidup. Namun tengkorak kepala Faisal retak, sehingga ia harus dirawat enam bulan lamanya di RS Pelni untuk menunggu tempurung kepala buatan.
Sementara Maulana Suryadi (23), warga Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, juga dipulangkan dalam kondisi meninggal dunia, setelah ia ditangkap aparat dalam kerusuhan demonstrasi di wilayah Slipi, Rabu malam (25/9). Juru parkir di Pasar Tanah Abang itu oleh ibunya disebut tidak ikut berdemonstrasi. Jenazah Yadi dipulangkan dalam kondisi mengeluarkan darah dari hidung dan telinga. Tetapi polisi menyebut Yadi meninggal karena sesak napas akibat menghirup gas air mata.
Korban-korban akibat demonstrasi rusuh ini belum termasuk yang terluka akibat pemukulan, maupun sakit akibat tembakan gas air mata. Juga belum termasuk ratusan anak STM yang ditangkap.
Nyaris bersamaan dengan demonstrasi mahasiswa menolak sejumlah RUU yang bermasalah, di ujung timur Indonesia, Wamena-Papua, juga meletus kerusuhan yang berujung pada pembunuhan puluhan orang warga keturunan Bugis dan Minang.
Tragedi kemanusiaan ini disebut bermula pada Sabtu (21/9) atas adanya tudingan pernyataan rasial dari seorang guru kepada seorang siswa di SMA PGRI Wamena. Atas kejadian itu para siswa di Wamena merencanakan unjuk rasa pada Senin (23/09). Lalu meletuslah unjuk rasa yang berujung kerusuhan di sejumlah titik. Bahkan kantor Bupati dan PLN pun menjadi sasaran pembakaran.
Kapolda Papua Irjen Pol Rudolf A Rodja menyebutkan, insiden rasial di SMA PGRI adalah isu hoaks dan membantah kerusuhan diakibatkan insiden rasial. Ia menyebut keributan yang terjadi di Wamena karena tawuran antarpelajar.
Per Kamis, 26 September, korban meninggal akibat kerusuhan Wamena mencapai 33 orang. 24 orang asal Sulsel, 9 orang asal Sumbar. Sementara korban luka-luka mencapai 76 orang. Ribuan orang lainnya mengungsi. Selain itu, menurut Kabid Humas Polda Papua Kombes (Pol) AM Kamal, 224 mobil roda enam dan empat hangus, 150 motor, 465 ruko hangus, dan 165 rumah dibakar.
Wagub Sumatera Barat Nasrul Abit adalah pejabat yang sibuk dalam upaya penyelamatan warganya. Ia bahkan diperintahkan Gubernur Irwan Prayitno untuk terjun langsung ke Papua, menemui Gubernur Papua Lukas Enembe dan para pengungsi warga perantau asal Minang.
Lalu, siapa yang nampak plonga-plongo?