NASIONAL

Miliki Empat Cacat Serius, Fadli Minta Perpres tentang Gaji BPIP Ditinjau Ulang

Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai ada empat cacat serius pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Pemimpin, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

“Pertama, dari sisi logika manajemen. Di lembaga manapun, baik di pemerintahan maupun swasta, gaji direksi atau eksekutif itu pasti selalu lebih besar daripada gaji komisaris, meskipun komisaris adalah wakil pemegang saham. Beban kerja terbesar memang adanya di direksi atau eksekutif. Nah, struktur gaji di BPIP ini menurut saya aneh. Bagaimana bisa gaji ketua dewan pengarahnya lebih besar dari gaji kepala badannya sendiri? Dari mana modelnya?,” ungkap Fadli dalam pernyataan tertulisnya, Senin 28 Mei 2018.

Menurut Fadli, sesuai dengan namanya, Dewan Pengarah seharusnya lebih berupa anggota kehormatan, atau orang-orang yang dipinjam wibawanya saja. Jadi, mereka seharusnya tak punya fungsi eksekutif sama sekali. Aneh sekali jika mereka kemudian digaji lebih besar daripada pejabat eksekutif BPIP.

“Lebih aneh lagi jika mereka semua tidak memberikan penolakan atas struktur gaji yang aneh ini,” lanjut dia.

Cacat kedua dari sisi etika. BPIP, kata Fadli, bukanlah BUMN atau bank sentral yang bisa menghasilkan laba, sehingga gaji pengurusnya pantas dipatok ratusan juta. BPIP adalah lembaga non-struktural, yang pekerjaannya ad hoc.

“Kenapa kok standar gajinya bisa setinggi langit begitu? Coba Anda bayangkan, gaji presiden, wakil presiden, menteri, dan pimpinan lembaga tinggi negara yang tanggung jawabnya lebih besar saja tidak sebesar itu,” ungkap Fadli.

Cacat ketiga, kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu, dari sisi anggaran dan reformasi birokrasi.

Presiden Joko Widodo, sebut FAdli, selalu bicara mengenai pentingnya efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Itu sebabnya, dalam kurun 2014-2017, ada 23 lembaga non struktural (LNS) berupa badan maupun komisi yang telah dibubarkan pemerintah, mulai dari Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Benih Nasional, hingga Badan Pengendalian Bimbingan Massal (Bimas). Tapi, pada saat bersamaan, Presiden justru malah terus menambah lembaga non-struktural baru.

“Sejak 2014 hingga kini, melalui berbagai Perpres, dalam catatan saya Presiden setidaknya telah meneken sembilan lembaga non-struktural baru, seperti Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), hingga BPIP ini. Jumlahnya memang hanya sembilan, tapi Anda bisa menghitung betapa mahalnya ongkos operasional lembaga-lembaga non-struktural baru yang dibikin Presiden Joko Widodo jika standar gaji pegawainya dibikin tak masuk akal begitu,” jelasnya.

Cacat keempat, dari sisi tata kelembagaan. Kecenderungan Presiden untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian seharusnya distop, karena bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan lembaga-lembaga yang telah ada.

“Dalam wacana mengenai penghidupan kembali Komando Operasi Gabungan (Koopsgab) TNI untuk menangani terorisme, misalnya, bukankah aneh jika Kepala KSP sangat dominan dalam mewacanakan hal-hal semacam itu, padahal itu adalah wilayah pertahanan dan keamanan di mana kita sudah punya Menteri Pertahanan dan juga Menko Polhukam di situ? Mungkin karena yang bersangkutan merasa setingkat menteri, sehingga tak menyadari jika pernyataan-pernyataannya sudah offside terlalu jauh,”ungkap Fadli.

Karena memiliki empat cacat serius itu, Fadli berpendapat seharusnya Perpres No. 42/2018 ditinjau kembali. Menurutnya jangan sampai cara pemerintah mendesain kelembagaan BPIP, menyusun personalia, dan kini mengatur gaji pejabatnya, justru melahirkan skeptisisme dan sinisme publik. Itu kontra produktif terhadap misi pembinaan ideologi dan Pancasila itu sendiri.

“Tak ada ruginya Perpres itu dicabut atau direvisi kembali. Perpres itu sudah melukai perasaan masyarakat yang kini sedang dihimpit kesulitan,”pungkas dia.

red: shodiq ramadhan

Artikel Terkait

Back to top button