SILATURAHIM

Singa Itu Telah Berpulang

Jika mau, dari kedekatannya dengan berbagai tokoh itu, bisa saja Mas Aru duduk di kursi empuk dan gedung ber-AC. Tapi rupanya, dia memilih untuk tetap hidup di jalanan, seperti yang dia jalani selama ini. Ia memilih untuk tetap menjadi aktifis, dai, dan juga sebagai wartawan.

Karena sering ikut berkumpul di rumah Kiai Rasyid, kami kemudian sering diundang Pak Kiai saat acara akhirussanah di Pondok Pesantren Asysyafiiyah Pulo Air, Sukabumi, Jawa Barat.

“Sabtu sampai Ahad besok, silakan teman-teman diajak ke Pulo Air, ya, Mas Heru,” begitu biasanya pesan Kiai Rasyid kepada Mas Aru.

Sampai saat ini saya tidak tahu, dari mana asal mulanya, mengapa Kiai Rasyid memanggilnya dengan sapaan Mas Heru.

H. Aru Syeiff Assadullah bersama KH Abdul Rasyid AS di rumah Prabowo Subianto, Jl Kertanegara IV Jakarta Selatan. [foto: shodiq/SI]

Sesuai pesan Kiai Rasyid, Mas Aru selalu membawa rombongan kami dengan mobil Kijang Innova miliknya, dan bermalam di Pondok Pesantren yang sangat pesat perkembangannya itu. Bangunan pesantren terus berkembang, kegiatan semakin banyak dan meriah, namun hidangan pepes ikan mas yang lezat andalan Pesantren Pulo Air selalu menemani makan kami. Bahkan, setiap kami akan pulang ke Jakarta, Kiai Rasyid selalu membawakan oleh-oleh pepes ikan itu dan membagi-bagikannya dengan tangannya sendiri. Padahal, bisa saja beliau menyuruh santri-santrinya untuk membagi-bagikan belasan tas berisi pepes ikan, buah-buahan, dan oleh-oleh lainnya itu kepada kami.

Wis gowo-gowo… nggo oleh-oleh bojomu, Bal… hehehe… iki barokahe Pak Kiai,” kata Mas Aru

Tahun 2006, Bapak saya kena serangan jantung di Magelang, dan kemudian saya bawa ke Jakarta untuk berobat dan kemudian dipasang ring di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Suatu ketika, saat saya mengantarkan Bapak saya untuk kontrol, saya bertemu dengan Mas Aru.

Loh, ngopo awakmu, Bal?”
Lagi nganter Bapak kontrol, Masbar pasang ring minggu wingi…”
Ooo ngono…”
Lah Mas Aru ngopo sampeyan…?”
Aku bar konsultasi karo dokter… aku ono masalah neng jantung… kudu ngombe obat karo rajin kontrol…”

Sejak itulah saya tahu bahwa Mas Aru punya penyakit jantung. Tapi ia seolah tak pernah dirasakannya. Ia tetap aktif menulis, bertemu dengan para tokoh, naik motor ke mana-mana, dan pergi ke sana-kemari, seolah tidak punya sakit jantung.

Mas Aru pula yang mempertemukan saya dengan Ibu Siti Sjamsiar Issom, putri Almarhum Pak Prawoto Mangkusasmito pada tahun 2009. Saat itu saya sedang menempuh studi S2 Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun, Bogor. Semula saya ingin menulis tentang penerapan syariat Islam di Keraton Solo semasa Sunan Pakubuwono IV. Salah satu acuan saya Kitab “Babad Pakepung.” Tapi sayang, saya tidak bisa mendapatkan salinannya, dari Keraton Solo, meski sudah menyampaikan rencana itu kepada Pangeran Puger, salah satu pengageng Keraton Solo. Akhirnya saya berganti tema, dengan meneliti pemikiran Ketua Umum Masyumi terakhir, Pak Prawoto Mangkusasmito, dengan sumber utama buku “Pesan-Pesan Pak Prawoto kepada Putra Putrinya.”

Buku “Pesan-Pesan Pak Prawoto kepada Putra Putrinya” adalah kumpulan surat-surat Pak Prawoto kepada putra-putrinya pada saat Ketua Umum Partai Masyumi terakhir itu berada dalam Tahanan Orde Lama di Penjara Wilis, Madiun, selama 4,5 tahun, tahun 1962 hingga 1966. Karena itu, saya merasa perlu bertemu dengan putra-putrinya, untuk menanyakan berbagai hal tentang Pak Prawoto dan pemikiran-pemikirannya. Karena itu saya minta bantuan Mas Aru untuk dapat bertemu Ibu Sri Sjamsiar, putri sulung Pak Prawoto di rumahnya, di Kompleks Tanjung Barat Mas. Saat itu Mas Aru tidak ikut, tapi wawancara berlangsung cukup intens, hingga sekitar dua jam.

Dari wawancara dengan Ibu Sri saya mendapat gambaran tentang Pak Prawoto dari pihak keluarga. Kemudian saya melengkapi bahan tesis dengan mewawancarai beberapa kader Pak Prawoto. Pak Cholil Badawi saya wawancarai di Magelang. Wakil Ketua MPR, Pak AM Fatwa saya temui di kantornya di Senayan. Pak Abdul Qadir Djaelani saya temui di rumahnya di Leuwiliang, Bogor. Sementara di Kantor Yayasan Asrama dan Pendidikan Islam (YAPI) di Rawamangun yang didirikan Pak Prawoto, saya mewawancarai Pak Ismael Hasan.

Di sebuah rumah di kawasan Cibinong saya mewawancarai Pak Zainal Abidin, mantan Sekretaris Pribadi Pak Prawoto selama menjadi Wakil Ketua Konstituante hingga menjelang penahanan oleh rezim Orde Lama. Lalu di Kantor Dewan Da’wah saya mewawancarai Pak Ramlan Mardjoned, mantan sekretaris pribadi Pak Prawoto Mangkusasmito selepas dari penjara rezim Orde Lama hingga wafat. Saya juga mewawancarai Bang Ridwan Saidi, budayawan Betawi yang pernah menjadi anggota DPR dari PPP di masa Orde Baru. Alhamdulillah tesis itu selesai dengan baik.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button