Situs Pemerintah Disusupi Konten Perjudian, Kok Bisa?
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menemukan sebanyak 9.052 situs pemerintahan yang disusupi konten perjudian. Hal ini terjadi dalam kurun waktu 1 Januari 2022 sampai 6 September 2023. (republika.co.id, 10/09/2023).
Kasus peretasan situs pemerintah menjadi hal yang lumrah akhir-akhir ini. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyebutkan peretasan situs pemerintah termasuk dalam empat besar kasus peretasan di Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah sistem keamanan yang sangat kurang memadai.
BSSN juga menyebutkan ada serangkaian penyebab situs pemerintah menjadi target peretasan. Mulai dari 1) belum menggunakan secure coding; 2) belum memakai secure hosting; 3) jarang melakukan tes keamanan; 4) kurang maintenance, hingga 5) kurangnya kesadaran tentang keamanan siber.
Umumnya aksi peretasan situs pemerintah terjadi menggunakan metode web defacement atau mengganti tampilan di halaman utama website. Tercatat, 9,2 persen kasus web defacement menimpa situs pemerintah pusat, sedangkan 17,57 persen menimpa situs pemerintah daerah. (bluepowertechnology.com, 11/07/2023).
Berbagai kasus peretasan situs pemerintah jelas menimbulkan pertanyaan di benak publik, bagaimana kualitas pengamanan negara, termasuk kinerja para petugasnya yang bertanggung jawab menjaga keamanan situs pemerintah. Apalagi jika situs-situs yang diretas merupakan situs-situs yang memiliki banyak perangkat, mulai dari pendanaan, sumber daya manusia, hingga regulasi.
Padahal segala perangkat tersebut semestinya mampu menjadi benteng untuk menjaga stabilitas keamanan negara baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Namun, faktanya kasus peretasan situs pemerintah kerap berulang. Menjadi bukti, minimnya keseriusan negara untuk memperbaiki infrastruktur sistem elektronik di negeri ini.
Kasus peretasan situs pemerintah yang lamban ditangani jelas berdampak buruk baik bagi negara maupun rakyat. Sebab, pihak peretas dapat mengakses semua data milik pihak penyelenggara sistem elektronik, serta menyalahgunakan, memanipulasi, memodifikasi, hingga mengunggah data yang ada. Terbaru, peretas menggunakan situs pemerintah untuk mempromosikan perjudian online yang tengah marak terjadi.
Sejatinya, negeri ini tidak kekurangan para ahli di bidang teknologi informasi. Sayangnya, negara belum memanfaatkan keahlian mereka sesuai kebutuhan negara dengan sebaik-baiknya. Di sisi lain, gelontoran dana besar untuk keamanan penyelenggaraan siber elektronik milik Kominfo sebesar Rp1 triliun tak tahu juntrungnya hingga hari ini. Andai dana tersebut dialokasikan sesuai anggaran niscaya pemerintah mampu memiliki keamanan siber yang mumpuni sehingga sangat sulit diretas.
Ketidakseriusan pemerintah dalam usaha menjaga stabilitas keamanan negara, sejatinya menunjukkan lemahnya kemauan politik dalam menuntaskan masalah tersebut. Hal ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme demokrasi yang bercokol di negeri ini. Sistem ini sukses mencetak penguasa yang abai dalam mengurus urusan rakyatnya, termasuk dalam menjaga keamanannya baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Paradigma kapitalisme demokrasi juga nyata menjadikan rakyat sebagai objek komersialisasi yang terus dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi tuan penguasa dan oligarki kapital. Rakyat bukan lagi sebagai pihak yang wajib dijaga dan diurus seluruh hajat hidupnya. Alhasil, jangan heran, jika pembangunan seluruh infrastruktur bukan ditujukan untuk kemaslahatan rakyat, melainkan untuk segelintir pemilik modal.