NASIONAL

Soal Baha’i, MUI Sumbar: Tugas Kemenag Itu Lindungi Agama Resmi dari Kesesatan

Padang (SI Online) – Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Barat Buya Gusrizal Dt. Palimo Basa angkat suara soal ucapan selamat dari Menteri Agama terkait hari raya komunitas Bahaiyyah yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Buya Gusrizal mengatakan, Bahaiyyah ditinjau dari latar belakang sejarah, esensi ajaran dan gerakan penyebaran merupakan ajaran sesat yang menodai ajaran Islam dan menjadi pintu masuk musuh untuk merusak umat Islam.

Karena itu, tak mengherankan bila lembaga-lembaga umat Islam berskala internasional, nasional dan juga para tokoh ulama telah mengeluarkan keputusan tentang kesesatan aliran ini.

“Membiarkan dan melindunginya sebagai suatu agama berarti memberi payung legalitas bagi mereka untuk menyesatkan umat. Pencabutan Kepres pelarangan yang pernah dikeluarkan, tidaklah otomatis mengakuinya sebagai suatu agama yang memiliki kedudukan yang sama dengan agama-agama yang diakui di Indonesia,” tegas Buya Gusrizal, Kamis, (29/7/3021).

Lebih jauh Buya Gusrizal menyampaikan dengan memberikan ucapan selamat hari raya mereka, Menag telah mengabaikan ghirah umat Islam dalam menjaga aqidah Islamiyyah.

“Tak patut hanya berpijak kepada Kepres 69/2000 yang telah mencabut kepres 264/1962 karena itu tidak berarti bahaiyyah mendapatkan posisi sebagai suatu agama yang diakui sejajar dengan agama resmi yang diakui. Di samping itu, tugas negara khususnya Kemenag untuk melindungi agama-agama resmi dari penyesatan merupakan amanah konstitusi,” tegas Buya.

Buya menambahkan, tanpa terjaganya kebenaran ajaran agama, berarti umat beragama tidak bisa menjalankan agama mereka dengan benar.

Lebih jauh lagi, sikap kurang pertimbangan Menag bisa memicu konflik antara umat dengan penganut ajaran bahaiyyah.

Alangkah bijaknya, di saat negara sedang berkutat menghadapi berbagai persoalan berat, Menag semestinya bisa menyingkirkan terlebih dahulu perkara-perkara yang bisa memicu kekisruhan dan menggerus kepercayaan umat kepada pemerintah.

“Kalau memang sikap pemerintah dipandu oleh keadilan antar anak bangsa dalam persoalan keberagamaan, sepatutnya pemerintah mengkaji ulang pencabutan Kepres 264/1962 zaman Presiden Soekarno tersebut karena itu dilakukan tanpa melibatkan lembaga-lembaga umat Islam.

Hal ini merupakan kecelakaan sejarah yang sangatlah tidak wajar terjadi karena Islam merupakan akar ajaran yang kemudian diselewengkan oleh bahaiyya,” tutup Buya.

sumber: minangkabaunews

Artikel Terkait

Back to top button