NUIM HIDAYAT

Soekarno, Pelacuran dan G30S PKI (Bag-1)

Soekarno lahir di Paneleh, Surabaya pada 6 Juni 1901. Saat kecil ia diberi nama orang tuanya Koesno. Karena ia sering sakit, maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama itu diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha, yaitu Karna. Nama Karna berubah menjadi Karno dalam bahasa Jawa, a berubah menjadi o. Sedangkan Su mempunyai makna baik.

Dalam Wikipedia dijelaskan, Karna alias Radeya adalah nama Raja Angga dalam Wiracarita Mahabharata. Ia menjadi pendukung utama pihak Korawa dalam perang besar melawan Pandawa. Karna merupakan kakak tertua dari tiga di antara lima Pandawa: Yudistira, Bimasena, dan Arjuna. Dalam bagian akhir perang besar tersebut, Karna diangkat sebagai panglima pihak Korawa, dan akhirnya gugur di tangan Arjuna. Dalam Mahabharata diceritakan bahwa Karna menjunjung tinggi nilai-nilai ksatria. Meski angkuh, ia juga seorang dermawan yang murah hati, terutama kepada fakir miskin dan kaum brahmana. Menurut legenda, Karna merupakan pendiri kota Karnal, terletak di negara bagian Haryana, India Utara. (https://id.wikipedia.org/wiki/Karna)

Ayah Soekarno bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai. Soekemi Muslim, sedang Ida Ayu beragama Hindu.

Pertemuan keduanya terjadi, ketika pada 1891, Soekemi ditugaskan untuk mengajar di Singaraja, Bali. Di Pulau Dewata inilah, ia bertemu dan jatuh hati dengan Ida Ayu, yang saat itu bertugas membersihkan sebuah pura. Kisah cinta Soekemi dan Ida Ayu Nyoman Rai bersemi, tetapi sempat terhalang restu orang tua. Pasalnya, Ida Ayu bukan hanya gadis Bali, tetapi dari kasta Brahmana dan keturunan penguasa Bali. Ida Ayu adalah keponakan Raja Singaraja yang terakhir.

Meski Soekemi berani mendatangi orang tua Ida Ayu dan meminta izin untuk menikahi putri mereka, ia ditolak. Penolakan itu disebabkan Soekemi berasal dari Jawa dan beragama Islam. Pada masa itu, belum ada perempuan Bali yang menikah dengan orang luar, apalagi berbeda agama. Alhasil, Soekemi dan Ida Ayu melarikan diri, hingga harus menghadapi persidangan.

Setelah membayar sejumlah denda, pasangan ini akhirnya menikah pada sekitar 1897. Soekemi dan Ida Ayu dikaruniai anak pertama pada 13 Maret 1898, yang kemudian diberi nama Sukarmini. (Baca: https://www.kompas.com/stori/read/2022/10/29/150000879/raden-soekemi-sosrodihardjo-ayah-soekarno?page=all)

Pada 1900, Soekemi dipindahtugaskan dari Bali ke Jawa Timur untuk mengajar di Sekolah Rakyat Sulung, Surabaya. Ia pun memboyong keluarga kecilnya pindah ke Surabaya, tepatnya di Kampung Peneleh. Di kampung inilah, Ida Ayu melahirkan Soekarno.

Pada 1907, Soekemi dan keluarganya pindah ke Mojokerto, kemudian ke Blitar. Saat itu, ia mengirim Soekarno ke sekolah menengah elite Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Soekemi menginginkan masa depan pendidikan sang anak terjamin, karena pada masa itu, hanya lewat HBS pintu perguruan tinggi akan terbuka lebar. Di Surabaya, Soekemi menitipkan Soekarno di kos kediaman sahabatnya, HOS Tjokroaminoto. (Lihat: https://www.kompas.com/stori/read/2022/10/29/150000879/raden-soekemi-sosrodihardjo-ayah-soekarno?page=all)

Pemuda Soekarno tidak melihat ada yang salah ketika menyontek pada ujian sekolah. “Ini masuk ke dalam apa yang kita sebut gotong royong,” dijelaskannya.

Sebagai pesaing yang sengit, ia tidak akan pernah mengizinkan dirinya dilampaui siapapun.

“Di dalam permainan gasing, satu gasing milik teman yang berputar lebih cepat dari punyaku,” kenangnya. “Aku memecahkan situasi ini dengan gaya Soekarno yang berpikir cepat –melempar gasingnya ke sungai!” Logikanya ini tidak berubah banyak ketika menjadi penguasa dari jutaan rakyat Indonesia.

Ia lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 1901. Ayahnya seorang guru sekolah, ibunya adalah berasal dari Bali yang bangga dan yakin bahwa putranya telah memberikan tanda nasibnya sendiri.

1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button