Soekarno, Pelacuran dan G30S PKI (Bag-1)
Tak ada orang progresif yang berpikiran sehat akan menentang cita-cita komunis, yang mencakup bantuan bidang sosial ekonomi. Kami menyetujui ini semua. Tetapi aku tidak mungkin meninggalkan Tuhan. Aku tidak mungkin membuang nasionalisme dan aku tidak dapat membayangkan bagaimana aku bisa melepaskan diri dari sifat angkuh, jadi aku tidak mungkin menjadi seorang komunis.”
Meski demikian, Bung Karno mempunyai hubungan erat dengan orang-orang komunis (PKI). Soebandrio, Aidit, Nyoto adalah beberapa orang yang dekat dengan presiden RI Pertama ini.
Di hadapan anggota angkatan ’45, yang sebagian diantaranya sudah dirasuki anti-marxisme, Bung Karno menjejerkan nama-nama tokoh-tokoh marxis yang, menurut pengakuannya, sudah tuntas dipelajarinya. Diantaranya: Karl Marx, Engels, Jean Jaures, Lenin, Karl Kautsky, Leon Trotsky, Stalin, Plekhanov, Rosa Luxemburg, Karl Liebhknecht, Pieter J Toelstra, Sidney & Beatrice Webb, dan lain-lain.
Di Bandung, Bung Karno makin mendalami marxisme. Seperti diceritakannya sendiri: “Di malam terang bulan yang penuh gairah, aku bahkan lebih memikirkan isme daripada memikirkan Inggit. Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi.”
Artawijaya, mantan wartawan Sabili, dalam bukunya Dilema Mayoritas menulis, ”Setamat sekolah dasar Soekarno melanjutkan pendidikannya di Hogere Burgere School (HBS) di kota Surabaya. Selama lima tahun, Soekarno menimba ilmu di sekolah yang kebanyakan muridnya berasal dari ras putih (Eropa). Di kota inilah Soekarno mulai bersentuhan dengan pergerakan dan pemikiran filsafat Marxisme. Selain itu Soekarno juga banyak belajar dari HOS Tjokroaminoto, tokoh pergerakan Syarikat Islam yang sangat berpengaruh di Jawa. Soekarno yang saat itu tinggal di rumah Tjokroaminoto dan sempat menikahi putrinya yang bernama Oetari, sering mengikuti kegiatan yang dilakukan Tjokroaminoto di pergerakan Syarikat Islam.
Seokarno mulai belajar teori tentang Marxisme dari seorang guru di HBS yang mengajar bahasa Jerman bernama C Hartogh. Hartogh adalah seorang sosialis demokrat dan anggota dari Indische Social Democratische Vereeninging (ISDV), sebuah perkumpulan politik yang didirikan pada tahun 1914 oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, seorang tokoh Yahudi anggota Illuminati, jaringan rahasia Zionisme Internasional seperti Free Masonry yang didirikan pada 1 Mei 1776 di Bazel, Swiss. Entah kebetulan atau memang ada kesamaan tujuan, 1 Mei juga diperingati oleh gerakan kiri sebagai hari buruh internasional.
Di Surabaya, Soekarno banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku literatur Barat di perpustakaan milik perkumpulan Theosofi. “Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini (Surabaya) yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki peta harta karun ini, di mana tidak ada batasnya buat seorang yang miskin. Aku menyelam lama sekali di dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku,”kenang Soekarno.”
Sedangkan dalam pidatonya di depan anggota sidang BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan bahwa yang mempengaruhi pemikirannya di masa muda adalah A Baars dan Sun Yat Sen. Presiden pertama RI ini menyatakan,”Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A Baars yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, sang lain yang memperingatkan saya ialah Dr Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tiongha menganggap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, maka yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormatnya merasa berterima kasih kepada Dr Sun Yat Sen, sampai masuk ke liang kubur.”
Soekarno memang menggemari ajaran Karl Marx. Ia dengan bangga menyatakan, ”Ajarannya tentang Karl Marx tentang histories materialisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya, dan saya gunakan, ya saya toepassen, saya terapkan pada situasi masyarakat Indonesia. Sebagai hasil dari penggunaan, atau toepassing, atau penerapan historis materialisme Karl Marx di masyarakat Indonesia dengan ia punya kondisi sendiri, dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya sejarah sendiri, dengan ia punya kebudayaan sendiri, dan sebagainya lagi, maka saya dating kepada ajaran marhaenisme,”ucap Bung Karno. (Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, Bung Karno dan Partai Politik, Jakarta, Grasindo, 2001 dalam Artawijaya, Dilema Mayoritas, Medina Publishing 2008)
Tapi bukan Soekarno kalau tidak kreatif. Ia tidak ingin menerapkan ajaran Karl Marx ini mentah-mentah di Indonesia. Ia bahkan juga tidak menggunakan istilah Marxisme. Ia mengaku berfaham Marhaenisme, Marxisme ala Indonesia. Marhaen ini menurut pengakuannya kepada penulis biografinya Cindy Adams, adalah seorang petani kecil di Bandung yang mempunyai satu istri dan empat orang anak. Kata Soekarno,”Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Dia menyebut namanya, Marhaen. Marhaen adalah nama umum seperti Smith dan Jones. Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen.”
Di dalam biografinya, Soekarno berkeyakinan teguh tentang ideologinya Nasakom. “Nasakom adalah sebutan yang mencakup tiga kekuatan, di atas mana negeri kami didirikan. Nas berarti orang-orang nasionalis yang bukan komunis, A untuk agama yang berarti kaum agama yang anti komunis dan Kom orang yang beraliran komunis. Aku memulai Nasakom dengan Nas, bukan dengan Kom, untuk menunjukkan bagaimana aku lebih mengutamakan nasionalisme daripada komunisme. Tapi adalah kenyataan, bahwa banyak orang komunis, yang tulang belulangnya berserakan dalam kuburan-kuburan tanpa nama di Digul, adalah pejuang-pejuang besar kemerdekaan. Mereka selalu mendukung Soekarno. Apakah Barat menyarankan agar aku membunuh mereka, sementara pada saat sama golongan kanan yang fanatik mencoba membunuhku?”