Strategi Politik “Bul ‘alaa Zam-zam Fatu’rof”
Kekuasaan bisa diraih jika memenangkan pemilu. Mekanisme pemilu dengan meniscayakan kemenangan kepada pada suara terbanyak. Berharap dari suara rakyat yang mereka sambangi hanya di tiap 5 tahun sekali. Dan tentu tak mudah membuat rakyat mengenali puluhan partai dan caleg yang bertarung di kontesasi pemilu. Mestilah ada strategi luar biasa agar rakyat dengan mudah mengenal dan melafalkan nama partai dan calegnya. Strategi termudah adalah dengan mengencingi sumur zam-zam, maksudnya bikin heboh dulu. Yang penting rakyat tau nama dan lambang partainya dulu, urusan rakyat simpati atau tidak, itu urusan nomor sekian.
Sampai di sini kita bisa liat kebobrokan sistem demokrasi. Mulai dari kesalahan meletakkan standar kebahagiaan hingga pengebirian makna politik hanya sebatas kekuasaan. Landasan sekularisme membuat mereka menghalalkan segala cara demi meraih materi. Cara-cara tak halal pun ditempuh dalam meraih kekuasaan. Berpolitik dengan pencitraan menjadi menu wajib dalam sistem demokrasi. Ibarat Camera 360 yang mampu menyulap wajah asli agar terlihat lebih muda, mulus, dan cerah, maka demikianlah pencitraan. Meskipun harus menipu, berbohong, bahkan memanipulasi data dan menfitnah. Semua akan ditempuh demi meraih kekuasaan. Urusan akhirat, pertanggungjawaban dengan Allah adalah urusan nanti. Demikian sempitnya urusan politik dalam sistem demokrasi.
Berbeda dengan sistem Islam. Politik adalah aktivitas level tinggi. Mengurusi urusan rakyat adalah aktivitas politik dalam Islam. Pengurusannya pun tak memakai sembarang aturan. Hanya aturan Allah, syariat Allah, yang akan dijadikan sistem aturan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari individu hingga negara.
Hak membuat hukum hanya pada Allah. Tugas partai politik adalah untuk mngoreksi penguasa. Adapun anggota majelis ummat, adalah perwakilan rakyat yang berfungsi untuk menyampaikan aspirasi dari ummat dan mengoreksi penguasa. Tak ada perlombaan menjadi anggota majelis ummat, karena sebenarnya setiap rakyat pun berhak dan wajib untuk mngoreksi penguasa. Seorang perempuan pada masa Khalifah Umar bin Khattab pernah mengoreksi kebijakan Umar tentang penetapan mahar bagi perempuan. Umar pun mencabut kebijakan tersebut karena landasan hukum sang perempuan adalah Al-Qur’an. Jadi, Mengoreksi di sini dalam artian bukan mencari-cari kesalahan, namun menjaga agar penguasa senantiasa menjalankan syari’at Allah dalam mengurus masyarakat dan negara. Karena hanya dengan menerapkan syari’t Allah maka kehidupkan penuh barokah akan melingkupi negeri.
Landasan akidah dalam sistem Islam membawa atmosfer ketakwaan individu, masyarakat dan negara. Gambaran akhirat yang mewujud nyata di benak tiap insan, bahwa akan ada pertanggungjawaban setiap perbuatan termasuk jabatan yang diemban. Hal ini akan melahirkan sikap amanah, memberi yang terbaik dalam bentuk pelayanan prima dengan kompetensi yang mumpuni. Tak ada yang berlomba-lomba menjadi penguasa, teringat beratnya pertanggungjawaban kelak. Bahkan Umar bin Abdul Aziz pingsan berkali-kali ketika rakyat memintanya menjadi Khalifah.
Jadi, tak akan ada politik “bul ‘ala zam-zam fatu’rof” dalam sistem Islam. Karena memiliki harta dan jabatan bukanlah kebahagiaan hakiki setiap manusia. Adalah ridho Allah yang akan menjadi standar kebahagiaan dalam menjalani hidup di dunia. Wallahu a’lam.
Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Pemerhati Dunia Islam