AL-QUR'AN & HADITS

Tafsir dan Ta’wil Isti’adzah

Oleh karena itu setan ada dari kalangan manusia, sebagaimana ada setan dari kalangan jin. Umar bin Khaththab suatu kali pernah mengendarai seekor kuda yang membangkang dan banyak tingkahnya, Umar pun memukulnya, namun kuda tersebut tetap membangkang dan sulit dikendalikan. Di situlah Umar menyebut kudanya sebagai “setan”. Ungkapan beliau:

ما حملتموني إلا على شيطان! ما نزلت عنه حتى أنكرت نفسي

“Tidaklah kalian menaikanku kecuali kepada setan, tadinya aku tidak mau turun sampai jiwaku mengingkarinya,” hadits ini diriwayatkan ath-Thabari dari Yunus bin Abdul A’laa dari Anba’ana bin Wahhab, dari Hisyam bin Sa’ad dari Zaid bin Aslam, dari Umar bin Khaththab. Sedangkan الرجم arti mendasar secara bahasanya ialah melempar batu. Arti tersebut pun bergeser menjadi melemparkan kutukan. الشيطان الرجيم menurut Raghib al-Ashfahani dalam Mufradat fii Gharibil Qur’an bermakna setan yang terusir dari kebaikan dan dari tempat tertinggi (Surga).

Marilah kita Simak juga apa yang dituturkan Imam al-Qurthubi dalam Tafsir Jami’ li Ahkamil Qur’an, sepuluh poin pembahasan dari al-isti’adzah atau ta’awudz ini, yang kami sadur dengan meringkasnya dan tambahan dari kami.

Pertama, dalam ayat:

فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS an-Nahl: 98),

Allah memerintahkan kita untuk minta perlindunganNya. Allah menempatkan masa lalu yakni fi’il madhi (kata kerja bentuk lampau) قَرَأْتَ , di masa mendatang yakni ketika Allah memerintahkan dengan fi’il amr (kata kerja bentuk perintah) فَٱسْتَعِذْ . Terdapat ungkapan yang didahulukan dan ungkapan yang dibelakangkan. Hujjahnya ialah kebiasaan bahasa, jika ada dua fi’il (kara kerja) berdekatan secara maknanya, dalam suatu ungkapan, maka salah satu dari dua fi’il tersebut boleh didahulukan, yang lain dibelakangkan, manapun yang engkau sukai dari dua fi’il tersebut.

Oleh karena itulah bisa-bisa saja dan tepat sesuai adat bahasa, bahwa apabila membaca al-Qur’an maka berta’awudz-lah. Boleh saja maknanya ta’awudz atau isti’adzah dulu, baru kemudian membaca al-Qur’an. Hal ini dibenarkan oleh Sunnah. Jadi bukan dengan begini, dikarenakan Allah memakai fi’il madhi “engkau telah membaca” baru kita berta’awudz, tidak demikian pemahamannya. Namun makna ungkapannya “Apabila engkau hendak membaca al-Qur’an maka berta’awudz-lah.” Demikian hujjah kami yang dibenarkan dengan sunnah.

Kedua, Menurut jumhur perintah berta’awudz hukumnya sunnah bukan wajib. Hanya saja tidak membacanya bukan termasuk bermaksiat kepada Allah, akan tetapi perbedaan pendapat ada pada membaca ta’awudz saat di dalam shalat. Sekelompok tabi’in, dan inilah pendapat terkuat menurut kami hukumnya wajib, bahkan setiap rakaat sebelum memulai al-Fatihah, ini pendapat Atha’ bin Abi Rabah, Ibnu Sirin dan Ibrahim an-Nakha’i.

Dengan alasan perintah Allah itu sifatnya umum, yaitu agar memohon perlindungan. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah menyatakan dibacanya cukup pada rakaat pertama saja. Dengan alasan di dalam satu shalat dianggap satu bacaan. Imam Malik menyatakan tidak wajib, namun disarankan membacanya untuk ibadah di bulan Ramadhan.

Ketiga, Para ulama sepakat bahwa ta’awudz secara lafazhnya ialah bukan merupakan bagina al-Qur’an dan bukan ayat al-Qur’an. Namun itu diketahui dari sunnah secara lafazhnya, Adapun perintah berta’awudznya itu dari ayat 98 surat an-Nahl. Perumpamaannya ialah seperti ibadah-ibadah yang diperintahkan, tercantum di dalam al-Qur’an namun rincian pengerjaannya mesti merujuk ke Sunnah atau ke hadits-hadits Nabi ﷺ maupun atsar para sahabat.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya
Back to top button