RESONANSI

Tagar Viral Tuan Aparat, Lagu Lama yang Susah Diralat?

Tanda pagar #PercumaLaporPolisi menjadi viral dan trending topik di media sosial. Tagar ini merupakan bentuk respons publik, terhadap kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel), yang kasusnya dihentikan pihak kepolisian.

Lucunya, seolah mendapatkan kesempatan berkeluh-kesah, tidak sedikit warganet yang berbagi cerita tentang pengalaman tidak menyenangkan ketika berurusan dengan polisi. Bahkan ada pula warganet yang terang-terangan enggan melapor kepada kepolisian, saat menjadi korban kejahatan, termasuk aksi kriminalitas di jalanan.

Ya, sentimen negatif dan sinisme publik seolah kerap terjadi kepada pihak kepolisian. Sikap ini pun kian menguat melihat kerja mereka yang kadung jauh dari profesional. Di satu sisi, tidak sedikit kasus yang ‘mendadak’ diusut, setelah menjadi viral dan mengundang gelombang protes publik, seperti kasus dugaan pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur, yang mengundang keprihatinan publik saat ini.

Sentimen negatif dan sinisme publik terhadap polisi ini tak ayal lagi menjadi sorotan sejumlah pihak. Sebab tidak hanya menuai kritik mendalam, tetapi juga menjadi sinyal ketidakpuasan publik terhadap kinerja kepolisian. Alhasil, hal ini pun meningkatkan ketidakpercayaan publik pada lembaga yang dipimpin oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo tersebut.

Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso pun angkat bicara menanggapi gelombang kritik publik ini. Menurutnya, tagar #PercumaLaporPolisi tidak hanya ekspresi dan cetusan publik sebab ketidakpercayaan masyarakat, tetapi juga menjadi evaluasi untuk melakukan perbaikan terhadap sistem yang sudah mengakar di kepolisian. Lebih jauh, Sugeng pun mengkritik fenomena lain di korps Bhayangkara, yakni cara kerja aparat polisi yang menunggu suatu perkara menjadi viral, baru bertindak kemudian. (pikiran-rakyat.com, 12/10/2021).

Tidak hanya kinerja korps Bhayangkara yang menjadi sorotan, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara juga menyoroti dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi. Dalam cuitan di akun Twitter-nya, Beka mengungkapkan bahwa Komnas HAM menerima sedikitnya 744 pengaduan terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi selama 2019. Tercatat 46,8 persen di antaranya merupakan pengaduan terkait dugaan proses hukum yang tidak sesuai prosedur.

Data Komnas HAM tahun 2021, bahkan masih menempatkan korps Bhayangkara di posisi teratas sebagai pihak yang melakukan pelanggaran HAM. Catatan ini berdasarkan 2.331 aduan pelanggaran HAM yang diterima Komnas HAM. (CNNIndonesia.com, 13/10/2021).

Tagar viral menambah daftar panjang kekecewaan masyarakat kepada tuan aparat. Alih-alih mengayomi dan melindungi rakyat, serta menegakkan hukum seadil-adilnya di tengah rakyat; tuan aparat malah mencederai kepercayaan rakyat. Bagaimana keadilan hukum dapat dijunjung tinggi, sedangkan tuan aparat gagal memberikan rasa adil dan aman kepada rakyat?

Lemahnya penegakkan hukum jelas membuat masyarakat tidak aman dan cemas. Sebab berbagai tindak kejahatan dengan beragam bentuknya kian marak, karena tuan aparat belum mampu menuntaskannya hingga ke akarnya.  Alhasil, kepada siapa lagi mereka mengadukan tindak kejahatan yang menimpanya, sedangkan tuan aparat tidak mampu lagi mengayomi dan memberikan rasa aman.

Lemahnya penegakkan hukum. Hukum yang tebang pilih. Tergerusnya ketidakpercayaan rakyat terhadap penegakkan hukum. Semua itu merupakan buah penerapan sistem sekularisme yang rusak dan merusak. Dalam paradigma sekularisme, hukum dibuat dan ditegakkan oleh manusia yang lemah dan terbatas. Tidak heran, jika penerapannya rentan kepentingan dan mudah dimanipulasi oleh pihak yang berkuasa. Alhasil, alih-alih menegakkan hukum demi kemaslahatan rakyat, hukum yang tegak justru digunakan untuk melayani syahwat penguasa.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button