SUARA PEMBACA

Tercekik Tarif Listrik

Pemerintah dan Banggar DPR RI dikabarkan telah bersepakat untuk kembali menerapkan tarif penyesuaian (tariff adjustment) pada 13 golongan pelanggan PT PLN (Persero) nonsubsidi pada 2022 mendatang. Menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rida Mulyana, rencana ini akan dilaksanakan saat kondisi pandemi Covid-19 membaik.

Tarif penyesuaian merupakan tarif listrik bagi 13 golongan pelanggan PT PLN (Persero) nonsubsidi. Tarif ini berfluktuasi setiap tiga bulan, menyesuaikan nilai tukar (kurs), harga minyak mentah (ICP), dan inflasi. Jika ketiga faktor ini mengalami kenaikan, maka tarif listrik ikut naik. Begitu juga sebaliknya, jika ketiga tersebut mengalami penurunan, maka tarif listrik pun ikut turun. Namun sebagaimana diketahui, tarif listrik bagi 13 golongan pelanggan nonsubsidi ini sudah lama tidak mengalami kenaikan sejak 2017. (cnbnindonesia.com, 14/12/2021).

Rencana kenaikan tarif penyesuaian ini pun menuai respons dari para pelaku usaha. Salah satunya dari Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani. Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana kenaikan tarif penyesuaian ini. Mengingat pada masa pandemi Covid-19 di tahun 2020 lalu saja, konsumsi listrik mengalami penurunan dan cukup memukul pelaku usaha. Hariyadi menyarankan sebaiknya pemerintah menunda dulu rencana penyesuaian tarif ini.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP), Yustinus Gunawan. Menurutnya, jika pemerintah memutuskan tidak lagi menahan tarif untuk 13 pelanggan nonsubsidi, maka hal ini akan memberatkan pelaku usaha industri. (Kontan.co.id, 9/12/2021).

Jika para pelaku usaha saja keberatan terhadap rencana pemerintah untuk kembali menerapkan tarif penyesuaian, apalagi dengan rakyat? Sebab dapat diprediksi kenaikan tarif listrik ini niscaya memicu kenaikan harga kebutuhan lainnya. Sudah masih pandemi, harga sembako cenderung naik, rakyat pun terancam tercekik tarif listrik. Sungguh nasib rakyat makin tragis!

Rencana pemerintah menerapkan kembali tarif penyesuaian jelas tidak populis. Mengingat kondisi ekonomi rakyat akibat pandemi belum juga pulih. Alih-alih menjadi pelayan bagi kepentingan rakyat, negara justru berperan menjadi pedagang yang menjual layanan listrik. Ironisnya, layanan listrik tersebut berasal dari kepemilikan umum yang sejatinya milik rakyat.

Sebagai sektor strategis dan vital, maka menjadi kewajiban negara mengelola kelistrikan secara benar demi kemaslahatan rakyat. Sayangnya, hal ini tidak ditemui dalam naungan sistem kapitalisme. Watak kapitalisme yang berorientasi profit, menjadikan pengelolaan listrik gampang dikomersialkan.

Selain itu, paradigma kapitalisme menempatkan negara sebagai regulator bagi kepentingan kapitalis. Tidak heran jika sektor kelistrikan pun dikelola dengan mekanisme bisnis. Negara ibarat korporasi besar yang menjadikan layanan listrik sebagai barang dan jasa yang diperjualbelikan. Alhasil, alih-alih memberikan layanan listrik berkualitas dan murah bahkan gratis, negara justru terus mencekik rakyat dengan kenaikan tarif dasar listrik.

Tercekik tarif listrik, tentunya tidak akan dijumpai dalam naungan sistem Islam. Apalagi terjadi saat rakyat berjuang hidup melawan pandemi. Ya, sistem Islam tidak hanya mampu menuntaskan krisis dan pandemi, tetapi juga mengurai benang kusut pelayanan listrik.

Dalam paradigma Islam, listrik merupakan kepemilikan umum yang wajib dikelola negara semata-mata demi kemaslahatan rakyat. Hal ini dapat dipandang dari dua aspek. Pertama, listrik adalah kepemilikan umum yang termasuk bahan bakar yang berkategori api (energi). Sebagaimana sabda Baginda Nabi Saw, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: padang rumput (kebun/hutan), air, dan api (energi).” (HR. Ahmad).

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button