OASE

Tipe-Tipe Orang Bertanya Menurut Imam Al-Ghazali

Bertanya merupakan kunci ilmu pengetahuan. Tidak menjadi pintar orang yang pintar, melainkan setelah banyak bertanya. Begitu juga tidak menjadi bodoh orang yang bodoh, melainkan karena enggan dalam bertanya.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Imam Ibnu ‘Abbas pernah ditanya “Dengan apa engkau memperoleh ilmu yang begitu banyak?” Beliau menjawab “Dengan lidah yang banyak bertanya dan akal yang cerdas.” Keengganan seseorang dalam melontarkan pertanyaan umumnya tidak terlepas dari antara empat sebab, yaitu sombong, dengki, malu atau memang tidak ada keinginan untuk menambah ilmu pengetahuan.

Menanyakan sesuatu yang tidak diketahui merupakan hal yang dianjurkan dalam agama. Imam Haddad dalam kitab Ittihafus Saail (Darul Hawi,1993) mengatakan: “Bertanya tentang hal-hal yang dibutuhkan dan untuk menambahkan ilmu sebagaimana kebiasaan para ulama di setiap masa hukumnya wajib pada hal-hal yang diwajibkan dan sunat pada hal-hal yang disunatkan.”

Para ulama-ulama terdahulu meskipun sudah memiliki ilmu yang sudah mumpuni, mereka tetap bertanya walaupun kepada orang di bawah mereka. Dalam bertanya, tentunya harus dilihat dahulu keadaan orang yang ditanyakan. Sosok tokoh yang pantas untuk ditanya tentang ilmu pengetahuan agama adalah para ulama yang mengamalkan ilmunya dan takut kepada Allah. Jangan sekali-kali menanyakan urusan agama kepada ulama su’, yaitu ulama yang menjual agamanya untuk kepentingan duniawi.

Imam Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad (Darul Kutub Ilmiah, 2008), menyebutkan tipe-tipe orang yang bertanya dan membaginya ke dalam empat bagian:

Satu: Orang yang bertanya dengan penuh kedengkian dan kebencian,setiap kali kita menjawab pertanyaannya meskipun dengan jawaban terbaik lengkap dengan referensi dan nalar yang kuat, dia tetap tidak akan menerima jawaban tersebut bahkan itu hanya menambah kebencian dan kedengkian dalam hatinya. Umumnya ini terjadi pada orang yang tidak suka dan merasa tersaingi dengan kehadiran kita.

Solusi dalam menghadapi orang seperti ini adalah dengan tidak menjawab pertanyaannya. Hendaklah kita berpaling darinya dan meninggalkannya dalam kegundahan dengan kedengkian dalam hatinya karena kemudharatan dari sifat dengki kembali pada dirinya sendiri pada urusan dunia dan akhirat dan tidak membahayakan orang yang didengki bahkan memberikan manfaat kepadanya dengan berpindahnya pahala pendengki kepada yang didengki.

Dua: Orang yang bertanya dengan kedunguan, yaitu orang yang belajar ilmu pengetahuan dalam waktu yang singkat kemudian bertanya kepada ulama dengan keilmuan yang tinggi namun dengan mudah menentang jawabanya dengan kebodohan dan sedikitnya ilmu yang dimiliki. Hal seperti ini banyak terjadi pada sebagian orang di zaman sekarang.

Mereka belajar hanya sebentar dengan orang yang tidak memiliki sanad keilmuan yang jelas kemudian merasa dirinya sudah pintar sehingga dengan mudah menentang ucapan para alim ulama. Tidak hanya alim ulama di zaman sekarang yang ditentang, ulama-ulama terdahulu seperti Imam Al-Ghazali, Imam Syafi’i juga tidak luput dari amukan mereka.

Bahkan, ada orang yang dengan beraninya mencerca para sahabat karena tidak sejalan dengan pemahaman mereka. Tidak ada gunanya menjawab pertanyaan orang seperti ini. Jika kita menghabiskan waktu berjam-jam untuk berdiskusi dengan mereka sungguh tidak ada faedahnya dan mereka tetap pada pendiriannya.

Tiga: Orang yang bertanya agar bisa menambah ilmu pengetahuan, namun pertanyaannya tentang permasalahan tingkat tinggi yang bukan ranahnya. Pada hakikatnya menjawab pertanyaan tersebut percuma dan hanya membuang-buang waktu karena memang dia tidak akan sanggup memahami. Solusi dalam menghadapinya adalah memberi jawaban yang sesuai dengan keadaannya atau memberitahukan ketidakmampuannya dalam memahami pertanyaannya yang besar.

Imam Haddad dalam kitab Ittihafus Saail (Darul Hawi) mengatakan: “Sepatutnya bagi seorang syekh dan orang ‘alim jika ditanyakan oleh muridnya tentang sesuatu yang dapat membahayakan mereka atau tidak sampai pemahaman mereka kepada ilmu tersebut, hendaklah mereka melihat terlebih dahulu keadaan si murid jika memang apabila diberi tahu bahwa dia tidak mampu menerima ilmu tersebut hatinya tidak kesal yang dapat membahayakan agamanya, maka hendaklah diberitahukan dan tidak diberikan jawaban. Tetapi jika memang diketahui si murid akan kesal jika diberitahukan hal tersebut maka hendaklah diberikan jawaban yang sanggup ditangkap oleh pemahamannya meskipun jawaban tersebut berpaling dari yang ditanyakan.”

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button