OPINI

TPPO Kian Meresahkan, Kapan Dapat Dituntaskan?

Dalam pertemuan Bali Process di Adelaide, Australia, pada Jumat (10/2), Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, menegaskan perlunya upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Pernyataan Bu Menteri tersebut mengacu pada data Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), yang memperkirakan 10,9 juta orang di Asia Pasifik terancam terusir tahun ini akibat berbagai faktor, mulai dari konflik, perubahan iklim, hingga kesulitan ekonomi. (antaranews.com, 11/02/2023).

Pernyataan Bu Menteri jelas perlu kita dukung. Namun, seruan tanpa dibarengi dengan upaya konkret sudah pasti hanya pepesan kosong belaka. Ya, faktanya kasus perdagangan manusia masih menjadi PR besar yang mendesak untuk segera dituntaskan.

Baru-baru ini saja, Direktur Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Djuhandhani Rahardjo Puro beserta jajarannya, menangkap dua pelaku TPPO yang melibatkan jaringan internasional Indonesia-Kamboja. Terungkapnya kasus ini pun berawal dari penangkapan tiga tersangka TPPO berinisial SJ, JR, dan MN pada akhir 2022 lalu. (antaranews.com, 10/02/2023).

Pernyataan Bu Menteri menambah daftar panjang komitmen negara untuk memberantas kasus TPPO. Namun faktanya, kasus TPPO masih terus terjadi. Bahkan undang-undang yang ada dan ratifikasi konvensi PBB hingga saat ini belum juga membuahkan hasil. Fakta, bahwa pelaku TPPO tak gentar dengan seabrek aturan yang ada .

Era modern nyata tidak membuat manusia lepas dari perbudakan. Ya, perdagangan manusia sejatinya merupakan bentuk lain dari perbudakan manusia. Tindakan yang begitu buruk yang dilakukan demi mendulang materi. Mematikan nurani dan rasa peduli. Yang ada hanyalah hawa nafsu untuk mengeruk keuntungan dari manusia lain yang terenggut haknya.

Menurut Foo Yen Ne dalam bukunya berjudul “Human Trafficking: In the Shadows of the Law”, perdagangan manusia adalah perekrutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang melalui paksaan, penipuan dengan tujuan memanfaatkan mereka untuk mendapat keuntungan. Baik laki-laki maupun perempuan dari segala usia dan latar belakang dapat menjadi korban dari kejahatan ini.

Di Indonesia sendiri, kasus TPPO masih cenderung tinggi. Kasus ini pun rentan terjadi di kalangan pekerja migran di Tanah Air, khususnya perempuan. Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE, Anis Hidayah, mencatat per Agustus 2022, ada 298 pekerja migran Indonesia yang menjadi korban sindikat perdagangan orang lintas negara.

Menurut Anis, para korban ini direkrut melalui jejaring sosial. Mirisnya, selama bekerja, mereka kerap menghadapi ancaman dan penganiayaan. Bahkan dijual ke perusahaan lain jika melanggar, meskipun hanya karena terlambat masuk kerja dalam hitungan menit. (jawapos.com, 05/08/2022).

Jika ditelaah, kemiskinan menjadi salah satu faktor utama penyebab perdagangan manusia. Tidak sedikit orang yang tergoda iming-iming menjadi buruh migran, karena terhimpit ekonomi yang makin sulit. Namun, alih-alih mendapatkan pundi-pundi materi, justru kesengsaran kala mendapati diri diperdagangkan tanpa nurani.

Inilah buah pahit hidup dalam naungan kapitalisme. Si miskin hidup tanpa terlindungi. Berjuang keras demi sesuap nasi, bahkan sampai mengorbankan nyawa diri sendiri. Sementara di sisi lain, tidak sedikit manusia yang tak memiliki hati nurani menghalalkan segala cara demi meraup materi, termasuk dengan memperdagangkan manusia. Yang terpenting, dapat mendulang segunung cuan demi kebahagiaan duniawi.

Pemberantasan perdagangan manusia mustahil tuntas selama sistem kapitalisme bercokol di negeri ini. Sistem ini justru menumbuhsuburkan praktik perbudakan modern ini. Sistem ini juga terbukti gagal memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Alhasil, rakyat butuh sistem alternatif yang mampu memberikan rasa aman dan sejahtera.

1 2Laman berikutnya
Back to top button