SUARA PEMBACA

Upah Buruh Naik, Tapi Tak Manusiawi?

Pemerintah pusat baru-baru ini telah memutuskan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2022 yakni sebesar 1,09 persen. Penetapan tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.

Namun kenaikan UMP tidak disambut baik oleh para buruh. Dikutip dari cnnindonesia.com, rencananya akan ada mogok kerja selama tiga hari yang melibatkan masa dua juta buruh. Mereka berasal dari lebih 100 ribu perusahaan yang tersebar di 30 provinsi dan lebih dari 150 kabupaten/kota di Indonesia. hal ini merupakan reaksi buruh yang memprotes kenaikan UMP sebesar 1,09 persen sebagai dampak pandemi Covid-19.

UMP yang naik 1,09 persen artinya kenaikan UMP 2022 tertinggi hanya sebesar Rp37.538 dan kenaikan terendah adalah hanya naik Rp14.032. kenaikan yang minimum ini tentu saja dirasa merugikan para buruh pekerja karna tidak sesuai dengan kebutuhan yang kian hari kian naik. Kenaikan minimun inilah yang mereka rasakan sebagai sebuah kedzaliman.

Meski pemerintah menetapkan UMP yang minimum karena beralasan akibat dampak pandemi Covid-19, Alasan ini tidak mudah begitu saja diterima. Pasalnya dalam UU Cipta Kerja yang melandasi kelahiran upah minimum memang menghitung UMP berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi serta ditentukan berdasarkan rata-rata konsumsi per kapita bukan per individu.

Padahal diprediksikan oleh Bank Indonesia inflasi di tahun 2022 akan berkisar 2-4 persen (idntimes.com). penentuan diawal tidak sebanding dengan kenaikan UMP yang ditetapkan pemerintah. Penderitaan buruh akan semakin berlipat karna selain upah yang kurang, pengeluaran akan kebutuhan sehari-hari semakin bertambah. Contohnya saja penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan diterapkan pada kebutuhan sehari-hari seperti sembako, jasa pendidikan hingga jasa kesehatan, belum kebutuhan rumah seperti tagihan listrik, air dan sebagainya.

Semua ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat. Dikte korporasi dalam UU Cipta Kerja mengenai upah begitu kental terlihat dalam kebijakan ini. kebijakan pro korporasi tidak terlepas dari belenggu aturan ekonomi kapitalisme yang tengah diterapkan di seluruh dunia. Aturan dalam sistem ekonomi kapitalisme adalah siapa saja yang memiliki uang dialah pemenang. Maka para konglomerat tak segan memperlakukan pekerjanya sebagai budak yang tidak memiliki hak untuk hidup layak. Mereka dengan tega memberikan upah yang sangat minim untuk menekan pengeluaran dan meningkatkan keuntungan mereka.

Berbeda dengan pandangan Islam, Islam memandang perhitungan upah berdasarkan manfaat yang pekerja berikan kepada yang mempekerjakannya. Upah tidak ditentukan dengan tinggi rendahnya nilai barang atau laku tidaknya barang. Namun ketika para pekerja sudah memberikan manfaat pada majikannya, maka majikan diwajibkan membayar upah pekerja sesuai dengan hasil pekerjaan tersebut. Islam pun tidak menilai standar kesejahteraan pekerja dengan perhitungan pendapatan per kapita akan tetapi Islam akan memastikan setiap individu sejahtera dengan pembagian distribusi upah secara adil.

Islam mengatur bahwa upah haruslah ditentukan sejak awal kesepakatan oleh pekerja dan yang mempekerjakan sesuai kadar pekerjaan. Islam juga melarang keras majikan menunda pembayaran ataupun memberikan bayaran yang minim. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, hendaknya diberitakan kepadanya upahnya.” (HR. Ad Daruquthni)

“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya”. (HR. Ibnu Majah dan ath Thabrani)

Dengan prinsip pengupahan dalam sistem Islam ini tentu akan menciptakan kesejahteraan bagi buruh dan tidak akan lagi problem tak berkesudahan mengenai upah dalam sistem kapitalisme seperti hari ini. Wallahu ‘alam.

Azrina Fauziah, Pegiat Literasi Komunitas Pena Langit.

Artikel Terkait

Back to top button